MENYOAL P-KPU NOMOR 7 TAHUN 2018 BAB II PASAL 5 AYAT 1 HURUF O
Oleh : Ian Daulasi – Negara Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Menjamin setiap individu untuk mengutarakan pendapat. Menjamin tiap-tiap individu untuk berkelompok, serta menajamin setiap individu untuk mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Sejak merdeka dari tahun 1945 hingga kini, beragam polemik tentang hak asasi manusia silih berganti. Ada yang hilang ditelan bumi, ada pula yang hilang di atas bumi.
Polemik tentang hak asasi manusia memang menjadi soal tersendiri bagi dunia, tidak hanya Negara Indonesia. Karena hak asasi manusia berhubungan erat dengan kebebasan setiap individu, berhubungan erat dengan setiap kelompok, berhubungan erat dengan kondisi setiap negara, berhungan erat dengan kondisi geopolitik dunia, maka hak asasi manusia yang melekat pada setiap individu harus terjaminkan segala konsekuensinya dalam peraturan dunia.
Karena bangsa Indonesia menyadari, mengakui, menjamin serta menghormati hak asasi manusia, maka ditetapkanlah dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Majelis yang dipundaknya diserahkan kedaulatan rakyat. Maka dinyatakanlah Piagam Hak Asasi Manusia.! Tersadarlah setiap individu. Diakuilah setiap keberadaan individu. Dijaminlah setiap aktifitas individu. Dihormatilah setiap karya individu.
Berdasarkan konteks ini, maka setiap warga negara Indonesia dijaminkan hak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 1). Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak (pasal 3). Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi kesejahteraan umat manusia (pasal 5). Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 8).
Setiap momennya (5 Tahun sekali) Negara Indonesia lewat lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam momentum Pemilu, pemilih diarahkan untuk memilih Presiden dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik sebagai dewan ‘pusat’ maupun sebagai dewan provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan momentum Pilkada diarahkan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Untuk memilih pada momentum Pemilu dan Pilkada setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum, yakni bisa memilih dan dipilih. Akan tetapi, sebelum tiba pada momentum pemilihan ada tahapan awal yang difasilitasi negara untuk membentuk panitia penyelenggara Pemilu dan Pilkada.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga negara yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yang bertugas untuk merencanakan dan menyelenggarakan setiap tahapan sampai tiba pada tahap memilih dan dipilih. Sejak dibentuk dengan keputusan presiden nomor 16 tahun 1999, peraturan KPU mengalami perubahan yang cukup signifikan hingga saat ini. Sejak tahun 1999 personalia KPU yang beranggotakan 53 orang anggota yang terdiri dari berbagai unsur berubah pada tahun 2001 dengan jumlah 11 orang anggota dari unsur akademis dan LSM.
Enam tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2007 peraturan KPU kembali di adendum dengan fakta kongkrit bahwa jumlah anggota KPU menjadi 7 orang anggota. Hal ini diketahui berdasarkan keputusan presiden nomor 101/P/2007. Jumlah anggota itu bertahan hingga kini dengan beragam perubahan peraturan di dalamnya.
Dengan perkembangan jaman serta melajunya keterbukaan informasi kita dapat mengetahui aturan turunan yang ditetapkan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Tertanggal 19 januari 2018 satu konsep Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 7 tahun 2018 tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota ditetapkan.
Sejak ditetapkan oleh Arif Budiman, PKPU ini menjadi rujukan bagi setiap Tim Seleksi (Timsel) maupun Presiden dalam menetapkan komposisi anggota KPU di berbagai tingkatan. Bagi penulis, PKPU ini belum cukup lengkap dalam mengatur mekanisme pembentukan anggota KPU pada setiap jenjangnya.
Secara khusus, meski dengan perkembangan informasi yang begitu terbuka PKPU ini hanya diketahui oleh ‘kalangan khusus’ yang punya perhatian terhadap dinamika demokrasi atau pola tahapan perekrutan penyelenggara pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah di Indonesia. Belum lengkapnya uraian PKPU ini terlihat pada Bab II pasal 5 ayat 1 huruf o.
Pasal 5 ayat 1 PKPU nomor 7 tahun 2018 menerangkan tentang setiap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat sebagai berikut. Huruf o nya menyebutkan, tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu. Secara eksplisit poin ini mempertegas batasan bagi setiap individu untuk mengembangkan kapasitas dan berguna terhadap negara hanya dikarenakan memiliki ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara. Dari sanalah persoalan ini dikemukakan.
Apa isi dari pasal 5 ayat 1 huruf o PKPU nomor 7 tahun 2018 ?
Dalam peraturan KPU nomor 7 tahun 2018 pasal 5 ayat 1 huruf o menyebutkan bahwa calon anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu.
Maksud dari tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu itu bagaimana ?
Maksudnya ialah bakal calon anggota KPU tidak akan mamenuhi kriteria calon anggota KPU jika, memiliki ikatan perkawinan dengan anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (ayat 2).
Kenapa tidak bisa ?
Nah, soal ini yang tidak ditemukan penjelasannya dalam PKPU nomor 7 tahun 2018. Tidak ada penjelasan yang cukup baik dan tertulis dalam undang-undang maupun PKPU jika pertanyaan itu diajukan.
Poin ini pada dasarnya termuat dalam pasal 21 ayat 1 huruf o bagian keempat tentang persyaratan KPU dan pasal 117 bagian keempat huruf o tentang persyaratan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kemungkinannya hanya dua, saya yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu sehingga belum mampu menjawab atau memang dari sananya (lembaga) tidak ada penjelasan.
Jika demikian, maka berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, ada pembeda antara satu individu dengan individu lainnya. Kepastian hukum serta mendapat perlakuan yang sama di mata hukum sebagaimana yang dijaminkan oleh ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 bagi setiap individu tidak bersesuaian. Hal ini ditunjukan dengan tidak diakomodirnya setiap bakal calon penyelenggara Pemilu dan Pilkada hanya karena memiliki ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara.
Jika memang pada dasarnya tidak ada penjelasan secara tertulis yang tertuang dalam UU maupun PKPU dan jawaban terkait itu dilekatkan pada rasionalitas Tim Seleksi, maka akan terjadi multi tafsir dan celah manipulasi administrasi. Maka ada kemungkinan akan terjadi penjaliman administrasi.
Mengingat hal ini tentang hak setiap individu untuk hidup berguna bagi kemanusiaan maka penjelasan tentang adanya huruf o ayat 1 pasal 5 PKPU nomor 7 tahun 2018 dalam persyaratan calon anggota Komisi Pemilihan Umum harus dimuat secara tertulis dalam keputusan PKPU.
Terima kasih.