Opini

Mengembalikan Wajah Keberagamaan yang Ekologis

oleh : Zulfirman Rahyantel

Idealnya kebenaran dan keberadaan agama hendaknya dibumikan dalam ruang-ruang kontekstual, jika kita percaya bahwa agama hadir untuk kemanusiaan dan doktrinnya untuk keseimbangan alam. Maka sepatutnya dalam ekspresi wajah dan nalar keberagamaan kita harus diperhadapkan kesana. Keadilan lingkungan hidup dan masa depan manusia paska revolusi industry dan spirit kapitalisme yang menunggangi narasi pembangunan dengan berlindung dibalik “Investasi” harus ditarik masuk kedalam diskursus serta praktik keberagaman kita hari ini. Jika tidak, “agama” hanya difungsikan sebagai identitas sosial tidak sebagai nilai dasar dari spirit perjuangan pemeluknya untuk merespon realitas dan ketimpangan yang terjadi disekitarnya.

Setelah beberapa dekade terakhir tren kehidupan kita terjebak dalam apa yang disebut Giulio Tononi sebagai “Consumerist Matearealism” yang memperlakukan planet bumi layakanya seperti zombie. Maka wajah keberagamaan yang melampui batasan materealism bagi para pemelukanya harus diperkuat nilai dan eksistensinya untuk memastikan keberlangsungan hidup di planet bumi yang dirusaki terus-menerus. Ada juga tesis lain dari Steven Friesen (sebagaimana dikutip Tu-Wei Ming), sifat merusak “humanisme sekuler” tehadap alam bukan terletak pada aspek sekularitasnya melainkan pada antroposenterismenya. Sehingga amat penting adanya kesadaran akan adanya aspek spiritualitas dari alam yang bisa membantu kita untuk memahami tanggung jawab dan membenahi eksistensi manusia bukan sebagai penguasa mutlak atas alam serta memerosotkan ruang-lingkup spiritualitas hingga menjadi tidak relevan dan adanya semacam kecenderungan terus-menerus mereduksikan ekologi hanya sebatas objek konsumsi.

Agama dan kemanusiaan adalah dua term yang tak bisa dipisahkan begitu saja, baik di dalam rana diskursus keilmuan, maupun di ruang praksis. Degradasi lingkungan merupakan salah satu masalah kemanusian yang kita hadapi saat ini, tentunya ini juga menjadi salah satu tugas orang beragama untuk mengintegrasikan nilai-nilai keberagamaan secara praksis dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan ini. Karena menurut Tu-Wei Ming, adalah kebutuhan mendesak bagi kita untuk memusatkan perhatian kita pada etika, nilai, dan agama sebagai cara untuk memelihara ekologi (baca: planet) dan mengurangi tingkat kemiskinan. Yang mana frame yang terbentuk adalah harus melampui mentalitas batas pencerahan.

Pada prinsipnya kita tak sekedar butuh inovasi serta intervensi teknis untuk mengatasi krisis ekologis dan dalam menopang usaha-usaha untuk keberlanjutan ruang hidup, melainkan juga hal-hal etis sebagai kebutuhan mendasar. Ketika etika lingkungan global hanya kaku dalam konsensus-konsensus internasional. Maka saat itulah, orang-orang beragama harus menghadirikan kebenaraan keberadaan etika religiutas sebagai rahmat bagi semesta keruang praksis untuk merespon dan membenahi permasalahan lingkungan hari ini. Agama yang syarat akan doktrin nilai atas kebaikan dan keseimbangan semesta dapat menjadi fondasi etis untuk tanggunjawab moral dalam merespon praktik dominasi dan perampasan ruang hidup yang masif terjadi. Hal ini yang secara implisit Friesen (1991) menyebut ada semacam kebutuhan mendasar terhadap suatu etika yang sangat berbeda dari model sosial Darwinian mengenai kepentingan pribadi dan persaingan dalam dominasi terhadap penguasaan sumber daya alam.

Sebagai bagian dari orang beragama dan subsistem semesta yang menghuni kolong langit ini, sekiranya pendapat Aldo Leopold melalui esainya tentang “The land ethic” bisa jadi menjadi pertimbangan serius bagi kita terkait relasi kebenaran (bisa kita maknai sebagai kebenaran agama) dan tanggug jawab ekologis. Dia menekankan suatu kebenaran bisa kita sebut benar, ketika cenderung untuk menjaga integritas, stabilitas dan keindahan masyarakat biotik. Namun, kebenaran itu bisa saja menjadi keliru dan disalahkan ketika (penganut kebenaran) cenderung sebaliknya merusak alam semesta dan masayarakat biotik yang ada didalamnya.

Disisi lain, ada tanggung moral yang kuat melekat pada orang beragama untuk merespon persoalan lingkungan hidup yang terjadi. Ada semacam diskursus menarik terkait ini yang dibangun oleh Gary Gardner misalnya. Ia menekankan bahwa persoalan-persoalan ekologis juga merupakan persoalan moral. Untuk itu, kiranya orang beragama harus mengaktualisasikan keyakinan moral mereka terhadap kesadaran akan lingkungan hidup yang rusak. Sehingga yang muncul dan ditonjolkan adalah adanya peningkatan kesalehan sosial dalam tindakan mereka untuk penyelamatan bumi.

Kita tentunya banyak berharap bahwa semoga isu “Ekologi” masih ada tempat bagi praktik keberagamaan kita. Sehingga agama bukan saja soal kapling surga-neraka bagi pemeluknya, tapi benar-benar bermetamorfosa menjadi basis nilai dan tanggung moral yang kuat untuk meminimalisir krisis ekologis yang semakin hari bergerser kearah kepunahan (collapse). Sepertinya pertobatan ekologis segera mungkin menjadi suatu keharusan bagi kita. Sehingga ada harapan besar terkait konten khotbah dan narasi-narasi yang dikembangkan pada mimbar-mimbar keagamaan lebih baik dan banyak menyentil urusan perampasan ruang hidup dan pencemaran ekologi (lingkungan orang beragama hidup), ketimbang disusupi urusan perebutan kekuasaan.

Tapi setidaknya, kita juga masih punya harapan lebih misalnya pada suatu realitas dimana ada pemuka , penganut agama lokal serta masyarakat adat yang masih konsisten digaris depan untuk menolak perampasan ruang hidup dan segala bentuk eksploitasi ditanah-tanah mereka. Saya berharap dari kita semua, apapun agama dan kepercayaan kita, akan muncul orang-orang seperti Mama Yosepha Alomang di Papua yang mana menyatunya nilai religiusitas “Hai” dan katolik didalam nadi perjuangannya untuk melawan perampasan ruang hidup dan dominasi-dominasi penguasaan sumber daya alam yang kerap kali tak berpihak pada masyakarat lokal.

Silahkan Berbagi:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *