“Para Antagonis di Maluku Utara”
Oleh : M. Guntur Cobobi*
Syahdan, Alfred Russel Wallace pada chapter XXIV di bukunya ‘The Malay Archipelago’ menuliskan kisah tentang bandit lokal yang mencuri uang serta membuang kotak dari spesimen yang sudah susah payah dia kumpulkan. Bandit lokal ini mengambil peran antagonis dalam sejarah pengetahuan. Agak mengherankan jika hari ini ada banyak intelektual di daerah ini yang membanggakan penemuan Wallace sebagai ‘tropi peradaban’ mereka. Seolah-olah dalam sebuah film, latar tempat jauh lebih utama dari keahlian aktor memainkan perannya. Ini kacau. Pada film naturalis ini, Wallace adalah aktor utama, Maluku Utara adalah latar tempat di salah satu scene-nya, sedangkan bandit lokal tadi memainkan peran antagonis dengan sempurna.
Terpesona pada gegap-gempita sejarah tanpa memandang bagaimana hari ini dan yang akan datang, menyebabkan kita mandul dalam berpikir dan merebut peran protagonis dalam peradaban. Mungkin satu-satunya peran protagonis kita adalah ketika Baabullah yang heroik mengusir penjajah Portugis dari tanah dan perairan Maluku dalam kampanye balas dendamnya. Selebihnya, hanyalah retorika-retorika kosong di warung-warung kopi.
Kemandulan berpikir kita yang tercermin dari pemahaman sejarah yang parsial, membuat kita sibuk membangun patung dan prasasti para jenderal asing yang ‘hanya sekedar lewat’ memperjuangkan agenda negaranya. Pada fase dengan konstruksi berpikir ini, kita juga gagal membangun pondasi peradaban yang akan diisi oleh generasi-generasi pemikir pembaharu. Hasilnya, daerah kita dipenuhi oleh pemeran antagonis, bandit lokal, bandit peradaban. Kelihaian kelompok ini adalah menggarong, serta tidak segan-segan membunuh generasi revolusioner-nya sendiri. Di sinilah kita, pertama; menghambat penemuan Wallace, kedua; memusnahkan para inovator yang lahir dari tanah kita sendiri.
Telmi, jangan Tell Me!
Tulisan yang tendensius dan pesimistis ini adalah refleksi kongkrit dari dinamika peradaban kita. Saya tidak terlalu kaget ketika beberapa waktu yang lalu Kementerian Dalam Negeri merilis Indeks Inovasi Daerah dan menempatkan Maluku Utara pada peringkat dua terbawah dengan skor indeks 24,44. Sudah wajar. Seperti kita warga di daerah ini yang tidak lagi heran ketika melihat toilet-toilet portabel sisa STQ yang terbengkalai di semak-semak di sepanjang jalan perkantoran Sofifi. Sudah wajar.
Problem utama kita hari ini adalah segelintir generasi Baby Boomers yang anti terhadap perubahan, energi yang sudah terkuras usia namun masih bersikukuh mengejar pembuktian individual, membuat mereka menghalangi sinar matahari untuk sampai pada kecambah-kecambah generasi yang sedang bertunas. Akibatnya, tunas-tunas ini sulit tumbuh. Dengan tidak adanya ruang aktualisasi, membuat putra-putri daerah yang potensial ini mencari ruang lain di luaran sana. Mereka tidak sudi kembali.
Saya ingat, ada seorang mahasiswa magister yang sekolahnya dibiayai negara, mahasiswa ini sudah berprestasi, diakui secara nasional dan internasional, tapi ia trauma untuk pulang mengabdi di Maluku Utara. Kenapa? Karena tidak dianggap. Katanya, kita telat mikir (Telmi), oh iya, satu lagi, kalau dikasih saran, mereka akan membangun agregat, ‘don’t tell me!’. “Ceh, me ngana ini masih baru, tara usah kase ajar saya. Saya ini so biking ini, so pengalaman itu…” Begitulah kata seorang Brutus. Celaka.
Saya awalnya masih skeptis dengan pernyataan mahasiswa ini, jadi tekad saya masih paripurna, niat saya adalah sekolah setinggi-tingginya, cari pengalaman sebanyak-banyaknya, lalu kembali dan mengabdi. Hingga tibalah saya pada suatu momentum di mana saya sepakat dengan mahasiswa ini. Yakni ketika saya dan teman-teman mengajukan sebuah gagasan yang tertuang dalam Policy Brief, kami mengajukan ide Smart Island ke salah satu kabupaten, tidak ditolak memang, hanya tidak direspon saja. Tapi beberapa waktu kemudian, mereka memproklamirkan ide Smart Island versi mereka, hanya diproklamirkan, hasilnya; Nol hingga oras ini!
Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi? Oke, ini harapan kita. Perguruan tinggi adalah ruang inovasi, tempat di mana keilmuan bergejolak, lokomotif peradaban ada di sini. Tiba pada suatu kesempatan, saya mengkritik tampilan depan website resmi perguruan tinggi yang menggunakan template WordPress gratisan, hasil memungut secara tumrafu di internet. Ini malu-maluin kalau dilihat oleh orang lain di luaran sana, kita mau ini diperbaiki. Namun apa jawaban tim yang bertugas? Negatif! Respon yang mustahil. Tapi begitulah yang terjadi. Bayangkan, motto kita ‘Internet of Things’, kita adalah pilar inovasi, tetapi men-copas template gratisan yang amburadul di internet. Kacau ini.
Wajar lah, kita miskin inovasi. Lebih baik Telmi, tapi jangan coba-coba Tell Me (Kasih tahu saya).
Apakah Ada Harapan?
Wallace dalam perjalanan saintifiknya di nusantara, toh tetap bisa menjadi salah satu dasar tercetusnya teori Evolusi oleh Charles Darwin, dia juga mencetuskan garis imajiner Wallacea, serta penemuan-penemuan luarbiasa lainnya yang penting bagi sejarah peradaban. Lalu si bandit lokal bagaimana? Oh, dia hanya cameo yang kebetulan antagonis. Sekedar lewat saja di buku.
Setiap generasi punya masa, begitulah titah sebuah frasa. Tetapi kapan? Apakah ada jaminan jika masa itu tidak dihancurkan atau tidak direcoki pada hari ini. Mengutip Herbert Spencer yang mengadaptasikan evolusi biologis sebagai pola evolusi sosial, bahwa perubahan masyarakat berlangsung dalam skala makro, namun tentu harus ada penggeraknya. Satu sifat identik antara evolusi sosial dan evolusi biologis adalah keduanya punya tempo yang lambat. Tapi di era ini, evolusi sosial Spencer sudah terdisrupsi. Lambatnya kita menjemput masa untuk menjadi penggerak, akan berpengaruh secara struktural dan kultural, akibatnya akan selalu tercipta gap antara daerah kita dengan daerah lain yang melaju dengan kecepatan tidak masuk akal.
Generasi kami yang lahir di tahun 90-an atau lebih kesohor disebut milenial, telah mengalami disrupsi ini. Lahir di era orde baru, diterpa krisis moneter ‘98, menjadi korban konflik horizontal ’99, memimpikan ponsel Nokia 6600, Facebook berdiri, Nokia runtuh, Arabic Spring, COVID-19 meledak, digitalisasi semua sektor diberlakukan. Generasi kita penuh dengan episode dan tragedi. Namun, di sebalik tragedi ini membuat kita terbiasa dengan perubahan yang serba kilat.
Semangat berubah itulah yang harus didukung oleh generasi sebelumnya, jika mau ada inovasi maka para antagonis harus mengakhiri perannya, berhenti mengumpulkan bibit-bibit generasi baru untuk kemudian ditanamkan paradigma status quo, sebab tipikal status quo akan selalu berdiri stagnan, Gerbong-gerbong berbasis suku dan ego sudah harus menjadi artefak peradaban, ini menghambat peluang kolaborasi di era yang mengedepankan Kerjasama dan sharing gagasan antar individu dan komunitas. Jika ini abai, bukan tidak mungkin generasi-generasi baru akan melanjutkan estafet dan memainkan peran antagonis generasi pendahulunya. Minimal mereka akan bersikap pragmatik. Bekerja sajalah yang penting isi absen, soal inovasi, biarlah orang ‘kulit putih’ saja yang lakukan, kita tinggal nikmati, atau copas saja template-nya. Begitu mungkin isi pikiran mereka nanti.
Namun harapan tentu saja ada, selama tidak ada guru yang menyebut siswanya tidak berkompeten, dan mau lebih bijak dengan memberikan kesempatan mereka untuk mengaktualisasikan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang mereka peroleh dari zaman mereka, maka kita akan berakselerasi melampaui apa yang sekedar inovasi, yakni invensi. Generasi pendahulu adalah guru, penerusnya adalah murid. Begitulah seharusnya antar generasi saling menitip-lanjutkan estafet, Tut Wuri Handayani, dari belakang memberi dorongan. Generasi baru membutuhkan dorongan ini, agar mereka tidak ‘doka kamo-kamo, isa mote, hoko mote’ seperti iringan awan, ke barat ikut, ke timur pun ikut, tidak tentu arahnya.
Kembali pada prolog tulisan ini. Jika sejarah bisa diputar, maka saya akan menyuruh si bandit lokal yang menggarong Alfred Russel Wallace agar tidak melakukan perbuatannya, toh, dia akan dapat bayaran kalau membantu Wallace masuk hutan mengumpulkan spesimen. Sejarah juga nantinya akan mencatat dia sebagai cameo yang protagonis. Kan keren tuh.