Refleksi HUT Ke-79 RI: Tantangan Menghadapi Neokolonialisasi “Sopan Santun”
Oleh : Rahdinal Muhdar – Ketua Umum HMI Cabang Manado Periode 2021-2022
Agustus adalah bulan bersejarah bagi Indonesia, karena pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh para pendiri bangsa. Proklamasi ini menginspirasi semangat kemerdekaan yang meluas ke seluruh pelosok tanah air, membangkitkan tekad untuk membangun Indonesia yang bebas dari penjajahan. Namun, kemerdekaan yang diraih saat itu lebih bersifat politis, belum sepenuhnya mencakup kemerdekaan ekonomi, sosial, moral, dan budaya. Indonesia meraih kemerdekaan melalui perjuangan para pahlawan, bukan melalui pemberian dari negara lain atau kelompok elit dunia. Dengan perjuangan keras, Indonesia berdiri tegak di atas tanah air yang dipertahankan dengan darah, nyawa, dan air mata para pejuang bangsa.
Setelah proklamasi, bangsa ini mulai merumuskan fondasi negaranya melalui proses yang panjang. Diskusi intensif dilakukan, melibatkan berbagai pemikiran, ide serta gagasan dari para pendiri bangsa hingga akhirnya lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Keduanya menjadi dasar dan falsafah yang menuntun perjalanan bangsa ini ke depan. Mereka menjadi simbol dari semangat perjuangan dan cita-cita yang hendak dicapai: keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, kemerdekaan yang diraih dengan susah payah itu tampaknya tidak serta-merta menjadikan bangsa ini dewasa dan bijaksana. Kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh penjajah malah menjadi celah bagi beberapa elit bangsa untuk melanjutkan bentuk kekuasaan yang lebih parah kekuasaan yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya sendiri, penulis mengistilahkan dengan Neokolonialisme “Sopan santun”. Penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap rakyat mulai marak, tidak lagi oleh penjajah asing, tetapi oleh para pemimpin bangsa sendiri. Ironisnya, rakyat harus berhadapan dengan “penjajah” yang memiliki wajah, kulit, bahasa, dan keturunan yang sama. Hanya saja, mereka mewarisi watak dan karakter dari penjajah yang telah diusir.
Di masa itu, bangsa ini mengalami transisi. Masa Orde Lama yang penuh ketidakstabilan kemudian digantikan oleh Orde Baru, sebuah rezim yang lebih kuat namun represif. Namun, Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat yang menuntut reformasi. Reformasi yang diharapkan menjadi angin segar, justru membawa hawa panas yang menyesakkan. Alih-alih memperbaiki keadaan, reformasi malah memperlihatkan betapa bejatnya para elite bangsa yang ternyata tak jauh berbeda dengan dua rezim sebelumnya. Hanya saja, di era reformasi ini, semuanya menjadi lebih “sopan”. Aturan-aturan baru dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memastikan kekuasaan tetap berada di tangan mereka yang berkuasa. Orang-orang yang dulu lantang meneriaki dan menjatuhkan Orde Baru kini malah bersekongkol dengan rezim penguasa, bahu-membahu menindas rakyatnya sendiri.
Kritik tajam yang dulu menjadi ciri khas pemuda dan kaum terpelajar kini terbungkam oleh doktrin baru: egoisme dan individualisme. Bahkan, tak jarang dari mereka yang menjadi “pelacur intelektual”, menjual ilmu pengetahuannya kepada penguasa demi kepentingan pribadi. Ormas-ormas agama yang dahulu menjadi benteng moral dan garda terdepan dalam memerangi amoralitas penguasa bangsa, kini justru membuka lebar-lebar mulutnya untuk disuap oleh kekuasaan melalui iming-iming jabaran dan konsesi tambang. Mereka yang seharusnya menjadi pelindung rakyat kini berubah menjadi “peliharaan” yang jinak di hadapan rezim penguasa, bahkan ikut menyerang rakyat yang seharusnya mereka lindungi.
Belum lagi para cukong dan taipan yang memodali para politisi untuk menduduki parlemen dan pemerintahan, agar mereka dapat dengan mudah mengontrol kebijakan yang menguntungkan mereka. Para politisi wakil rakyat ini, yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, justru menjadi peliharaan jinak di depan para pemilik modal besar. Mereka tidak lagi menjadi wakil rakyat, melainkan boneka yang digerakkan oleh kekuatan uang dan kepentingan pribadi.
Dalam kondisi yang demikian, rakyat kian terpuruk. Harga bahan pokok terus meroket, pajak dinaikkan, tanah adat dirampas dengan dalih “tanah milik negara”, media dibungkam, akal kritis disopansantunkan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan semakin sulit dan mahal. Lapangan kerja semakin terbatas, sementara rumah-rumah rakyat digusur demi kepentingan tambang dan proyek-proyek prioritas nasional. Kemiskinan merajalela, aturan-aturan disesuaikan dengan pesanan penguasa, seringkali mengubah undang-undang demi kepentingan keluarga dan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Sementara itu, moralitas dan etika generasi muda kian hancur, kerap dipertontonkan melalui berbagai media.