Inspirasi

KOTA BIKIN GELISAH

Oleh : Cecep

LARUT malam. Butet masih mengepul asap rokok di teras rumah dengan segelas kopi hitam di meja kecil yang terbuat dari kayu jati. Meja itu buatan seorang tukang kayu asal Surabaya, Mas Yono, beberapa bulan lalu ketika Mas Yono menawarkan jasa kepada Butet tatkala pertama kali menginjakkan kaki di kota ini. Kata orang, mengundi nasib!

Mas, jangan sungkan-sungkan main ke rumah, biar kita bisa ngobrol-ngobrol lagi, yaa tentang Surabaya….” Butet menutup percakapannya dengan Mas Yono, dengan senyum termanisnya, dan lekas pergi setelah sejam lebih bercakap-cakap sewaktu mengambil meja di tempat kerja Mas Yono yang sederhana.

Butet adalah seorang maestro, tetapi ia tidak menyukai seniman yang gemar melukis wajah pejabat, istri pejabat, politisi rakus, dan menteri yang hobi pencitraan. Butet menganggap hal itu sebagai cara orang-orang “kecil yang dipandang besar” menyuruh mereka menutup mulut. Seniman apa simpatisan kalian? Setiap kali bertemu, pertanyaan yang sama selalu keluar dari mulut sang maestro.

Malam itu, malam ketujuh usai peristiwa banjir yang memaksa seratus sepuluh orang warga Kampung Kodok mengungsi. Akal dan pikiran Butet belum menerima hal itu, sampai-sampai ia menyusuri kembali Kampung Kodok selama dua hari sebelumnya. Kampung Kodok terletak di tengah perkotaan, tepat di sebelah utara pusat pertokoan. Memang kota ini tidak seluas Jakarta. Tidak sepadat Jakarta. Warga disini pun tidak menuntut agar kota mereka bisa seperti Jakarta, setidaknya bisa pergi ke Dufan di akhir pekan atau saat cuti. Kota ini sudah tidak butuh mall—hanya rumah sakit dengan pelayanan tanpa membeda-bedakan latar belakang dan pekerjaan.

Penghuni Kampung Kodok sembilan puluh persen adalah pedagang. Ada yang menjual sembako, sayur-sayuran hingga pakaian. Ketika Butet mencari tahu apa penyebab banjir di Kampung Kodok, ia menghampiri seorang wanita yang sedang memindahkan barang-barang didalam rumahnya.

“Bagaimana bisa kebanjiran, Bu?”

“Entahlah, tiba-tiba saja rumah kami tergenang air setinggi lutut…”“

Anak-anak ibu baik-baik saja kan?

“Iya, mereka sekarang di tempat pengungsian. Dulu juga pernah, tapi tidak separah ini.”

Butet hanya mengangguk, mencoba mengingat kejadian itu. Dan ingatan membawanya pada tiga tahun lalu, awal bulan Desember, ketika Butet dan teman-temannya membuat pagelaran seni di halaman sebuah bangunan peninggalan kolonial, yang tak jauh dari kampung ini, terdengar bunyi sirine mobil ambulans, bolak-balik dengan cepat. Kala itu Butet tak sempat ke lokasi banjir, karena harus membereskan peralatan-peralatan yang dipakai untuk keperluan kesenian. Sehari kemudian ia dan teman-temannya menggalang dana dan membantu membersihkan rumah-rumah warga yang terdampak banjir.

***

“Kota adalah tumpukan masalah yang tak pernah selesai. Memang kota akan selalu berkembang, tapi setiap perkembangannya ditemani dengan berbagai masalah. Lahan yang kian terbatas efek dari pragmatisme pembangunan telah menjadi tontonan yang biasa. Gedung-gedung tinggi seakan mengejek orang miskin yang tak punya kekuatan untuk melawan dan akhirnya tersingkir, terusir dari gubuk-gubuk tempat mereka tinggal. Anak-anak mereka lebih memilih memungut sampah plastik, kardus, kaleng-kaleng bekas untuk dijual daripada bersekolah. Sementara di surat-surat kabar, pemerintah terus merilis data pendidikan dengan angka yang kerap naik dari tahun ke tahun. Mungkin pemerintah sudah mengambil alih pekerjaan guru matematika dan dosen akutansi. Pemerintah mungkin pura-pura lupa kalau kesejahteraan bukan berada pada angka-angka yang mereka keluarkan melalui konferensi pers di dalam ruangan mewah kemudian didokumentasi oleh banyak orang. Kesejahteraan itu ada jika perut-perut orang susah tidak kelaparan, bangku-bangku sekolah tidak hanya untuk orang kaya, senyum para petani dan nelayan usai panen, slip gaji buruh dengan nominal yang besar dan pedagang kaki lima yang membawa pulang hasil jualan penuh semangat.”Butet membaca penggalan paragraf itu sudah berulang kali, tulisan dari seorang mahasiswa Jerman yang sering menulis di media-media dalam negeri. Semakin larut, Butet belum juga beranjak dari tempat duduknya. Kopinya pun belum habis. Ia acapkali menghela napas panjang tetapi kemudian secepatnya menyeruput kopi, seolah tidak mau tenggelam dalam kegelisahan karena apa yang termuat di tulisan itu. Ia membayangkan jika ungkapan mahasiswa tersebut benar-benar terjadi di kota ini, dan ditambah masalah banjir yang menghantui, seberapa besar dampak yang dirasakan warga kota ini? Wajah Mas Yono tiba-tiba terlintas dibenak Butet. Mas Yono, perantau yang mencari penghidupan di kota yang sangat jauh dari tempat asal, apakah pantas orang seperti dia harus mengalami hal serupa? Bagaimana dengan keluarganya di Jawa? Istri dan anaknya? Bila orang tua Mas Yono masih hidup, bagaimana ia harus menghidupi mereka? Pikiran Butet melayang kemana-mana dan menambah kegelisahannya.***

Jam menunjukkan pukul tiga. Dan dingin terus menembus kulit, pastinya. Apalagi tempat tinggal Butet di dataran yang tinggi dan dikelilingi pepohonan. Namun, suhu dingin sama sekali tidak memengaruhi Butet untuk bergegas kedalam rumah. Entah mengapa, ia seakan-akan merasa menjadi manusia yang paling bertanggungjawab dengan musibah yang menimpa kota ini. Mungkin karena Butet pernah bergabung dalam organisasi sosial semasa kuliah dan ditugaskan mengadvokasi dan mengedukasi masyarakat kota yang terpinggirkan, membuat ia cukup tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang menjadi “korban”.

Silahkan Berbagi: