Hilirisasi Nikel Halmahera: Pertumbuhan Ekonomi, Degradasi Lingkungan Hingga Kumpul Kebo
Oleh: Alfath Satria Negara Syaban
PhD Candidate in Geography and the Environment
University of Alabama – USA
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, telah aktif mengimplementasikan kebijakan hilirisasi untuk menambah nilai ekonomis dari sumber daya alam tersebut. Di Halmahera, terutama di Weda, inisiatif ini direalisasikan melalui pengembangan sektor pengolahan nikel, yang bertujuan untuk menguatkan perekonomian nasional dengan mentransformasi bahan baku menjadi produk yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Kebijakan hilirisasi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dari ekspor, menciptakan peluang kerja yang signifikan, merangsang perekonomian lokal, serta memacu pengembangan infrastruktur (Abdurrachman, 2023). Namun, ekspansi industri ini juga menghadirkan berbagai tantangan signifikan, khususnya berkaitan dengan isu degradasi lingkungan dan transformasi sosial yang mendalam. Pembangunan fasilitas pengolahan nikel dan infrastruktur pendukungnya telah menyebabkan deforestasi di berbagai wilayah, merusak biodiversitas setempat dan mengganggu habitat spesies endemik. Lebih lanjut, pengelolaan limbah industri yang tidak adekuat berpotensi mempengaruhi kualitas air dan kesehatan komunitas sekitar. Transformasi ekosistem yang drastis ini juga menimbulkan kerugian bagi nelayan dan petani, yang kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang sebelumnya mendukung penghidupan mereka.
Selain itu, percepatan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan seringkali tidak sebanding dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, yang mana mengakibatkan munculnya masalah ketimpangan ekonomi (Noi & Ciroth, 2018). Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang cepat ini memunculkan tantangan sosial dari gesekan antara pekerja migran yang berdatangan dan masyarakat lokal yang merasa terpinggirkan. Fenomena sosial baru seperti kumpul kebo, yang mengacu pada pasangan yang hidup bersama tanpa pernikahan resmi, menjadi lebih umum sebagai konsekuensi dari interaksi antara berbagai latar belakang sosial dan budaya yang beragam. Kehadiran pekerja ini sering dianggap mengancam nilai-nilai budaya dan norma sosial yang telah lama dipertahankan oleh masyarakat adat Halmahera. Meskipun industri nikel menawarkan keuntungan ekonomi yang potensial, sektor ini jelas juga membawa dampak lingkungan dan sosial yang kompleks yang harus diatasi dengan pengelolaan yang cermat untuk menghindari kerusakan jangka panjang pada struktur sosial dan ekologi yang unik di Weda.
Pertumbuhan Ekonomi yang Masif
Halmahera, yang terletak di provinsi Maluku Utara, telah menjadi pusat utama kegiatan hilirisasi nikel di Indonesia. Wilayah ini, yang dikenal dengan cadangan nikelnya yang besar, telah melihat investasi signifikan dari pemerintah dan mitra asing dalam membangun smelter dan fasilitas pengolahan yang bertujuan untuk mengolah nikel secara lokal sebelum ekspor. Investasi ini mencapai lebih dari $1 miliar USD, dengan lebih dari 30% dana tersebut dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur pendukung. Langkah ini merupakan bagian dari strategi lebih luas untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor Indonesia, dengan harapan tidak hanya meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor—yang diharapkan tumbuh sekitar 40% dalam lima tahun ke depan—tetapi juga menciptakan lapangan kerja yang substansial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Proyek-proyek ini telah berhasil menciptakan lebih dari 5,000 lapangan kerja langsung dan diperkirakan akan menciptakan lebih dari 20,000 lapangan kerja tidak langsung melalui kegiatan ekonomi sekunder.
Kehadiran industri pengolahan nikel ini diharapkan dapat mengubah perekonomian lokal yang sebelumnya bergantung pada pertanian dan perikanan menjadi lebih berbasis industri, dengan peluang pekerjaan di sektor teknologi tinggi dan manufaktur. Sebagai bagian dari inisiatif ini, sekitar 60% tenaga kerja yang direkrut berasal dari lokal, dimana mereka mendapatkan pelatihan khusus untuk mengoperasikan teknologi pengolahan yang kompleks. Investasi di smelter dan fasilitas pengolahan tidak hanya membuka peluang kerja untuk penduduk setempat tetapi juga menyediakan pelatihan dan pengembangan keahlian yang mendukung peningkatan kapasitas kerja lokal. Selain itu, pertumbuhan industri telah menyebabkan peningkatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, yang mendapat peningkatan puluhan km baru, pelabuhan yang direnovasi untuk menangani kapasitas ekspor yang lebih besar, dan fasilitas komunal yang diperluas, semuanya penting untuk mendukung operasi industri skala besar dan juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal (World Bank, 2020).
Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat ini juga mempunyai dampak yang lebih luas terhadap ekonomi regional Maluku Utara. Pembangunan smelter nikel di Halmahera telah memicu pertumbuhan berbagai bisnis pendukung, termasuk layanan logistik, keamanan, dan layanan teknis. Sebagai contoh, sektor layanan logistik mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 20% dalam tahun pertama operasi smelter, menurut data dari Kamar Dagang dan Industri Maluku Utara. Keberadaan smelter ini menciptakan ekosistem ekonomi baru yang lebih dinamis di Halmahera, dan telah menarik investasi yang signifikan ke wilayah tersebut, termasuk investasi sebesar Rp 2,5 triliun dari investor asing dalam dua tahun terakhir, sebagaimana dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Peningkatan aktivitas ekonomi ini memperkuat posisi Halmahera sebagai pusat industri nikel di Indonesia, dengan ekspor nikel meningkat sebesar 35% setahun sejak pembukaan smelter, menurut data dari Kementerian Perindustrian.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan industri berharap bahwa keberhasilan model hilirisasi di Halmahera dapat diulangi di wilayah lain di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam yang serupa. Dengan strategi ini, Halmahera tidak hanya menjadi contoh nyata dari manfaat ekonomi hilirisasi tetapi juga menjadi kasus studi tentang bagaimana sumber daya alam, bila dikelola dengan bijaksana, dapat menjadi katalis untuk transformasi ekonomi yang luas. Perekonomian lokal yang sebelumnya terbatas pada sektor-sektor tradisional kini mengalami diversifikasi dengan adanya tambahan industri pengolahan yang berorientasi ekspor. Pertumbuhan ekonomi ini telah meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara sebesar 10% dalam lima tahun terakhir, menurut data dari Biro Statistik Daerah.
Peningkatan tersebut memberikan peluang ekonomi baru untuk masyarakat setempat dan meningkatkan standar hidup secara keseluruhan. Namun, keberhasilan ekonomi ini harus juga diimbangi dengan pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terjadi pada biaya kerusakan lingkungan atau keberlanjutan jangka panjang. Ini termasuk inisiatif seperti program reboisasi yang telah ditanamkan lebih dari 500 hektar hutan di sekitar area industri sejak dimulainya operasi smelter, sebagai upaya untuk mengkompensasi deforestasi yang terjadi (Siregar, 2023).
Di sisi lain, keberhasilan industri nikel di Halmahera telah memberikan pelajaran penting tentang pentingnya kerjasama antara pemerintah, industri, dan masyarakat lokal. Kunci dari keberhasilan hilirisasi di daerah ini terletak pada kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan kepentingan sosial dan lingkungan. Strategi yang inklusif, yang memastikan bahwa masyarakat lokal mendapat manfaat dari pertumbuhan industri dan tidak hanya menjadi saksi pasif dari transformasi ekonomi, adalah vital.
Keterlibatan aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek industri memberikan mereka kesempatan untuk menyuarakan kekhawatiran mereka dan memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak merugikan kualitas hidup atau lingkungan mereka. Melalui pendekatan ini, Halmahera bertransformasi menjadi contoh bagaimana industri ekstraktif bisa dijalankan dengan cara yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, menawarkan pelajaran berharga bagi daerah lain di Indonesia dan di seluruh dunia. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh hilirisasi nikel, jika dikelola dengan bijaksana, menawarkan jalan menuju pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan yang tidak hanya meningkatkan output ekonomi tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Degradasi Lingkungan: Efek Samping yang Tidak Terelakkan
Degradasi lingkungan menjadi efek samping yang tidak terelakkan dari pembangunan industri nikel di Weda, yang mana implikasinya tidak hanya bersifat lokal tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Resources Institute, penebangan hutan yang luas untuk membangun fasilitas pengolahan nikel telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang signifikan, dengan kehilangan tutupan hutan mencapai 40,000 hektar dalam dekade terakhir. Ekspansi ini melibatkan penghilangan tutupan vegetasi asli, yang tidak hanya berperan penting dalam penyimpanan karbon—mengingat hutan tropis Indonesia menyerap sekitar 2.3 gigaton karbon per tahun—tetapi juga sebagai habitat bagi lebih dari 300 spesies endemik.
Deforestasi skala besar ini meningkatkan risiko erosi tanah, menurunkan kapasitas tanah untuk menyerap air hujan, serta memicu frekuensi dan intensitas banjir yang lebih tinggi, merugikan lahan pertanian sekitar dan permukiman penduduk. Sebuah studi oleh University of Indonesia mencatat bahwa kapasitas penyerapan air tanah di Weda telah menurun sebesar 20% sejak dimulainya eksploitasi industri. Selain itu, limbah industri yang dihasilkan dalam proses pengolahan nikel sering kali mengandung berbagai polutan berbahaya, seperti logam berat. Survei terbaru menunjukkan konsentrasi kadmium dan merkuri di perairan sekitar Weda melebihi ambang batas yang direkomendasikan oleh World Health Organization, yang dapat terakumulasi di lingkungan, mencemari sumber-sumber air lokal. Penurunan kualitas air ini tidak hanya berdampak pada kesehatan manusia, tetapi juga pada spesies akuatik yang bergantung pada kebersihan air untuk kelangsungan hidupnya. Dampaknya dirasakan jauh di luar lokasi penambangan dan pengolahan, sebab polutan dapat mengalir ke sungai dan laut, meracuni rantai makanan yang pada akhirnya berujung pada konsumsi oleh manusia. (Yuniar, 2024).
Kerusakan habitat alami di Weda, Halmahera, telah menyebabkan gangguan signifikan terhadap keberlangsungan ekologi lokal, khususnya bagi flora dan fauna endemik. Sebagai contoh, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, lebih dari 20% dari habitat asli di wilayah terdegradasi dalam dekade terakhir akibat aktivitas ekstraksi dan industrialisasi. Spesies endemik seperti Burung Madu Halmahera, yang keberadaannya hanya tercatat di wilayah ini, kini terdaftar dalam kategori rentan oleh IUCN Red List, dengan populasi yang terus menurun karena hilangnya habitat. Dampak kerusakan ini juga meluas ke jasa ekosistem, seperti polinasi, yang krusial bagi pertanian lokal.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Applied Ecology (2020), penurunan populasi polinator di Weda berdampak pada penurunan produktivitas pertanian hingga 30%. Para nelayan dan petani, yang mata pencahariannya sangat bergantung pada kesehatan lingkungan alam, merasakan konsekuensi langsung dari perubahan ini. Pencemaran air dan berkurangnya habitat telah menyebabkan penurunan stok ikan lokal sebesar 40% dalam lima tahun terakhir, menurut data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Perikanan. Selain itu, produktivitas lahan pertanian di sekitar Weda juga menurun, dengan penurunan hasil panen pokok seperti jagung dan padi hingga 25%, yang dilaporkan dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Departemen Pertanian Provinsi Maluku Utara pada tahun 2021.
Penurunan ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian lokal, tetapi juga memaksa petani dan nelayan untuk mencari alternatif mata pencaharian atau menghadapi kemiskinan yang meningkat. Sayangnya, kapasitas adaptasi yang efektif, seperti transisi ke metode pertanian yang lebih berkelanjutan atau diversifikasi mata pencaharian, masih terbatas di daerah ini. Studi dari Universitas Indonesia (2022) mengungkapkan bahwa hanya sekitar 15% dari masyarakat lokal yang telah berhasil mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan atau diversifikasi penghasilan sebagai respons terhadap tantangan ini.
Selanjutnya, dampak terhadap kesehatan masyarakat setempat tidak bisa diabaikan. Eksposur jangka panjang terhadap polutan berbahaya dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari penyakit pernapasan hingga efek neurotoksik dan karsinogenik, yang dapat menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan beban pada sistem kesehatan lokal. Menurut data dari WHO, polusi udara di wilayah industri dapat meningkatkan risiko penyakit pernapasan hingga 30%.
Sebuah studi oleh Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan bahwa insiden penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) di wilayah industri meningkat sebesar 15% dibandingkan dengan daerah non-industri. Ketika fasilitas kesehatan tidak dilengkapi untuk mengatasi masalah kesehatan yang kompleks dan berkembang ini, situasi menjadi lebih buruk. Di Halmahera, hanya terdapat 0,8 fasilitas kesehatan per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar nasional yang direkomendasikan yaitu 1,5 per 1.000 penduduk. Perubahan iklim lokal yang disebabkan oleh deforestasi dan emisi industri juga memberikan tekanan tambahan pada lingkungan. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), wilayah Halmahera telah mengalami peningkatan suhu rata-rata sebesar 1,2°C dalam dekade terakhir.
Selain itu, perubahan pola curah hujan telah menyebabkan penurunan hasil pertanian sebesar 20% pada beberapa tahun terakhir, yang berimbas pada ketahanan pangan lokal. Perubahan pola cuaca, seperti peningkatan suhu dan perubahan dalam pola curah hujan, telah mengubah kondisi hidrologis yang berdampak pada pertanian dan sumber daya air, memperluas cakupan kerusakan ekonomi dan ekologis yang ditimbulkan oleh industri nikel. Sebuah laporan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2022 mengungkapkan bahwa penurunan kualitas air sungai di sekitar kawasan industri mencapai 40%, dengan kandungan logam berat yang melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Fenomena ini tidak hanya merusak ekosistem air tawar, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna yang bergantung pada sumber air tersebut. Dengan meningkatnya tekanan pada sumber daya alam dan kesehatan masyarakat, penting bagi pemerintah dan industri untuk segera mengambil langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang komprehensif guna mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dan memastikan keberlanjutan jangka panjang bagi komunitas lokal (CRI Indonesia, 2024).
Oleh karena itu, keberlanjutan lingkungan Weda terancam oleh pengembangan industri yang tidak mengindahkan dampak ekologis. Keberlangsungan hidup komunitas lokal, kelestarian sumber daya alam, dan kesehatan ekosistem global bergantung pada implementasi praktik industri yang lebih bertanggung jawab. Perlunya regulasi yang lebih ketat, teknologi bersih, dan strategi pengelolaan limbah yang efektif menjadi sangat penting dalam konteks ini. Selain itu, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan industri harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa dampak negatif dapat diminimalisasi dan distribusi manfaat dari industri nikel dapat lebih merata dan adil.
Perubahan Sosial dan Fenomena Kumpul Kebo
Perubahan sosial dan budaya yang disebabkan oleh industri nikel di Halmahera telah menciptakan dinamika yang kompleks dan seringkali kontroversial di dalam masyarakat setempat. Influx besar-besaran pekerja dari berbagai daerah di Indonesia ke Weda telah mengubah struktur sosial dan budaya yang telah lama ada. Fenomena kohabitasi atau yang lebih dikenal dnegan istilah kumpul kebo, sebuah istilah lokal yang menggambarkan praktik pasangan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi, semakin umum dan bahkan mendapatkan penerimaan di kalangan pekerja migran yang datang.
Hal ini menjadi semakin menonjol seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja yang tidak membawa keluarga mereka dan mencari bentuk hubungan yang lebih fleksibel dan kurang terikat oleh norma tradisional. Dalam konteks masyarakat Halmahera yang secara historis dan kultural sangat menghargai struktur pernikahan dan keluarga yang formal dan diakui secara adat dan agama, fenomena ini seringkali menimbulkan gesekan (Taufik et. al., 2022).
Konflik ini tidak hanya terbatas pada perbedaan dalam praktik kehidupan pribadi, tetapi juga merefleksikan pergeseran nilai yang lebih luas yang dibawa oleh pekerja migran. Banyak di antara pekerja ini berasal dari latar belakang yang berbeda, membawa serta pandangan, nilai, dan praktik yang berbeda, yang sering kali bertentangan dengan nilai adat yang kaku dan norma agama yang kuat yang dianut oleh komunitas lokal. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja migran yang datang ke Halmahera dalam kurun waktu lima tahun terakhir meningkat sebesar 40%, dengan mayoritas berasal dari Jawa dan Sulawesi, yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda. Selain itu, kehadiran mereka seringkali dilihat sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja bagi penduduk lokal.
Dalam sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2023, menunjukkan bahwa 65% penduduk asli Halmahera merasa bahwa pekerja migran mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi milik mereka, menciptakan lebih banyak ketegangan dalam komunitas tersebut. Sebagai hasil dari pertumbuhan industri yang cepat, desakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja seringkali mengesampingkan pertimbangan untuk integrasi sosial yang harmonis antara pendatang dan penduduk asli. Lebih jauh, fenomena kumpul kebo dianggap oleh sebagian masyarakat lokal sebagai simbol dekadensi moral yang diinduksi oleh modernitas dan kapitalisme yang tidak terkendali.
Terdapat angka yang signifikan dari pasangan di kawasan industri yang hidup bersama tanpa pernikahan resmi, fenomena yang hampir tidak ada satu dekade yang lalu. Ini menabrak sistem nilai yang telah lama mereka junjung, masyarakat lokal menyatakan bahwa fenomena ini merusak moral dan norma sosial tradisional mereka. Konsekuensi dari pergeseran ini tidak hanya terbatas pada ketidaknyamanan kultural, tetapi juga membawa dampak yang lebih luas pada struktur keluarga dan komunitas. Misalnya, praktik kumpul kebo sering kali tidak diakui secara hukum, yang berarti pasangan tersebut tidak memiliki akses terhadap hak-hak legal yang biasanya dinikmati oleh pasangan yang menikah secara resmi, seperti hak waris, hak atas properti bersama, dan perlindungan hukum dalam kasus konflik domestik (Williams, E., 2018).
Selain itu, pergeseran demografis yang disebabkan oleh kedatangan pekerja migran juga membawa perubahan dalam pola konsumsi, gaya hidup, dan bahkan bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini semakin mengikis keunikan budaya lokal dan menciptakan homogenisasi budaya yang lebih luas, yang banyak ditentang oleh mereka yang melihat pentingnya pelestarian identitas kultural lokal. Ketegangan ini diperparah oleh persepsi bahwa keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh industri nikel tidak merata, dengan sebagian besar keuntungan ekonomi mengalir ke perusahaan dan individu dari luar, sementara komunitas lokal menghadapi konsekuensi negatif dari pertumbuhan industri yang tidak terkendali. Pada akhirnya, fenomena kumpul kebo dan perubahan sosial yang lebih luas yang terjadi di Halmahera adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh masyarakat tradisional di seluruh dunia ketika mereka berhadapan dengan kecepatan perubahan yang dipercepat oleh globalisasi dan industrialisasi.
Penyelesaian konflik ini memerlukan dialog yang konstruktif antara semua pihak yang terlibat, dengan penekanan pada pengembangan kebijakan yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga pelestarian nilai-nilai sosial dan kultural yang penting bagi identitas jangka panjang dan keberlanjutan komunitas lokal. Memahami dan mengintegrasikan perspektif masyarakat asli dalam perencanaan dan eksekusi proyek-proyek industri akan menjadi kunci untuk menciptakan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, yang menghormati dan menguatkan struktur sosial yang ada sambil memperkenalkan inovasi yang diperlukan untuk kemajuan ekonomi.
Tantangan dan Harapan
Tantangan dan Harapan dalam Hilirisasi Nikel di Weda menandai era baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia, membawa serta peluang besar untuk pertumbuhan, namun juga mengungkapkan sejumlah tantangan penting yang harus diatasi untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Kegiatan ini tidak hanya merupakan motor penggerak ekonomi tetapi juga memainkan peran kritis dalam menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian lingkungan serta harmonisasi kehidupan sosial.
Sebagai respons terhadap potensi dan tantangan ini, diperlukan implementasi pengelolaan yang berkelanjutan dan kebijakan yang inklusif untuk memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam berlangsung tanpa merusak lingkungan dan mengancam keragaman sosial budaya lokal. Adalah penting bahwa keuntungan ekonomi yang diperoleh dari hilirisasi nikel tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak tetapi juga memberi manfaat secara luas kepada masyarakat, mempromosikan pembangunan yang adil dan merata. Keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam setiap tahap kegiatan industri—mulai dari perencanaan hingga pengawasan dampak lingkungan—adalah kunci untuk menciptakan transparansi dan memastikan bahwa kebijakan dan praktik industri mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan mereka.
Selanjutnya, rehabilitasi lingkungan harus menjadi bagian integral dari proyek-proyek ekstraktif, dimana perusahaan bertanggung jawab untuk memulihkan dan memelihara ekosistem yang terganggu sebagai akibat dari kegiatan operasional mereka. Upaya ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang ketat dan pengawasan yang efektif. Demi mencapai pertumbuhan yang inklusif, distribusi keuntungan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat menerima bagian yang adil dan proporsional dari pendapatan yang dihasilkan, dengan memperhatikan kontribusi dan pengorbanan masing-masing dalam proses industri.
Melalui pendekatan yang memadukan kebijakan lingkungan yang kuat, partisipasi masyarakat, dan distribusi keuntungan yang adil, hilirisasi nikel di Weda dapat menjadi model untuk pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya memperkuat perekonomian nasional tetapi juga melindungi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kombinasi ini merupakan fondasi bagi suatu masa depan dimana sumber daya alam dikelola secara bertanggung jawab, menghasilkan keuntungan jangka panjang untuk generasi saat ini dan yang akan datang, sekaligus memelihara kekayaan alam dan budaya yang menjadi warisan tak ternilai dari Indonesia.