Opini

Masyarakat Dan Demokrasi

Oleh : Suryanto Rauf – Sekertaris Umum Badan Pengelola Latihan HMI Cabang Ternate

Demokrasi adalah satu hal yang sudah sejak lama di mimpikan oleh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia setelah di adopsinya paham tentang demokrasi, bisa dibilang bahwa Negara ini belum sama sekali menerapkan demokrasi sesuai dengan apa yang selama ini di cita-citakan di dalam Negara Indonesia oleh para pendiri bangsa.

Indonesia sendiri sudah sejak lama menerapkan sistim demokrasi, pada masa demokrasi terpimpin di bawah kepemimpinan soekarno, ada banyak perdebatan panjang yang bisa di lihat secara langsung. Ketika Bung Karno menerapkan sistim demokrasi terpimpin dan sedikit memaksakan kehendaknya sebagai seorang pimpinan Negara, tidak sedikit dari para tokoh pendiri bangsa yang juga mengkritik kebijkan yang di keluarkan, salah satunya adalah Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden soekarno.

Wakil Presiden yang kedua tersebut pada waktu itu tidak menyepakati idea Bung Karno karena Bung Hatta melihat ada satu celah yang bisa diambil oleh seorang kepala Negara dengan semena-mena tanpa melibatkan masyarakat dan orang banyak. Alias tidak melewati satu musyawarah mufakat. Disamping itu, ide demokrasi terpimpin dimata Bung Hatta memiliki satu kelemahan, Bung Hatta melihat bahwa Bung Karno tidak benar-benar memahami apa yang dinamakan dengan demokrasi itu sendiri.

Pada saat Bung Hatta mengkritik ide demokrasi terpimpinnya, dia juga menawarkan satu gagasan besarnya yaitu tentang “Demokrasi Kita“. Bagi Bung Hatta demokrasi kita adalah satu wawasan besar dimana masyarakat dan pemerintah memiliki hak yang sama dalam memutuskan satu perkara, pemerintah dan masyarakat memiliki hak yang sama dalam berpendapat. Sehingga tidak ada satu otoritas tunggal dimana seorang kepala Negara memiliki hak atas setiap keputusan.

Dengan “Demokrasi Kita” Bung Hatta meyakini bisa merepsentasikan semua keinginan yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia dari sabang sampai merauke, dengan Demokrasi Kita, semua sama di mata hukum, setiap orang bisa berekspresi berdasarkan apa yang menurutnya baik untuk dijalankan selama tidak bertentangan dengan asas demokrasi yang sudah dirumuskan.

Sayang sekali karena ide Demokrasi Kita, justru tidak kembali dan kunjung diakui oleh Bung Karno untuk mengganti demokrasi terpimpin ala Bung Karno maka Bung Hatta memilih untuk mundur dari jabatannya sebagai wakil presiden pada sidang DPR pada 30 November 1956 setelah menjabat sebagai wakil presiden selama 11 tahun.

Sejak kemunduran Bung Hatta tersebut terlihat bagimana kekuasaan Bung Karno semakin lemah karena disamping itu sistim demokrasi terpimpin yang di junjung juga semakin banyak mengalami penolakan, karna banyak keputusan yang diambil tidak merepresentasikan apa yang diinginkan oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga sampai pada masa kejatuhannya di tahun 1965-1966 tidak satupun yang bias dilakukan olehnya sendiri. Karena adanya penyakit kanker besar yakni, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Ketika memasuki babak baru di masa peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1967 sistim demokrasi terpimpin pun mengalami satu perubahan secara total, semua dirubah oleh Suharto yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden kedua menggantikan Bung Karno. Negara kembali dikuasai oleh satu kekuatan militer di atas kepemimpinan yang Otoriter. Seluruh perangkat pemerintahan dari pusat sampai daerah dikendalikan oleh presiden sehingga masyarakat menjadi lebih tertindas atas kebijakan yang ada, Demokrasi yang dikekang, kebebasan yang di persempit membuat semua dikendalikan oleh pemerintahan. Meskipun ekonomi bangsa mengalami pertumbuhan tapi hak asasi manusia banyak terjadi dan tidak terhindarkan.

Sampai pada tahun-tahun terakhir sistim demokrasi Pancasila yang mencoba menjinalisir setiap kepentingan masyarakat di atas kepentingan pemerintah tersebut membuat masyarakat menjadi seperti domba yang digembalakan, masyakat tidak memiliki hak dan kebebasan sehingga penyakit KKN terus marajalela di atas Garis Kemiskinan yang semakin tinggi. Sehingga catatan akhir kepemimpinan presiden kedua tersebut meninggalkan banyak sekali masalah kasus HAM dan Demokrasi, Politik dan Ekonomi yang tidak terselesaikan.

Ketika massa reformasi melanjutkan tampuk kepemimpinan dengan dilantiknya presiden BJ Habibi menggantikan Pak Harto setelah mundur dari jabatannya, seolah tidak menyelamatkan bangsa Indonesia dari Invlasi yang dihadapi bangsa Indonesia, terutama masalah kemiskinan dan penyelesaian konflik horizontal yang marak terjadi.

Pada saat kekuatan orde baru yang tidak terbasmi di masa reformasi seolah menunjukan taringnya kembali dimasa Jokowi pada periode pertama dan kedua, daya kritis para aktivis seakan tidak berdampak apa-apa bagi pemerintahan, lantas apa yang salah di dalam Negara kita sehingga kebebasan demokrasi tidak lagi dijunjung.

Apakah hari ini masih ada harapan atas demokrasi yang hari ini diakui oleh bangsa kita Indonesia. Masyarakat yang menghargai demokrasi mencoba memanfaatkannya dengan menggunakan media demontrasi untuk berekspresi, media cetak untuk menulis, organisasi dan bahkan partai politik untuk mengawal kebijakan semakin di represif oleh pemerintah yang sudah senang dengan kekuasaan dan kufur nikmat.

Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 yang berbunyi : “ kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang ”. Undang-undang sebagai kotak saran kemanusiaan ini seolah menjadi satu aturan yang hanya dijadikan sebagai aturan namun tidak perna dikalankan dan dihormati oleh pemerintah di saat mereka ditegur oleh masyarakat yang dipimpinnya.

Penulis sendiri melihat bahwa Negara Indonesia di bawah kekuatan para oligarki seolah menjadi pincang dan tidak memiliki tampang yang harmonis dengan kotak saran bernama UUD 1945, padahal undang- undang sudah memberikan satu saran dan peringatan yang jelas bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah kufur dan akan berafiliasi menajadi satu kekuatan yang togot.

Ketika kotak saran tidak lagi dianggap memiliki efek jerah untuk menghentikan segala aktivitas Zombie- Zombie Soehartoisme maka hanya dengan gerakan besarlah masyarakat bisa kembali merebut hak-haknya yang dirampas. Karna kondisi objektif kehidupan bangsa mengisyaratkan bahwa beberapa pekerjaan rumah reformasi total menuntut langka-langka yang sistematik dan progresif belum mampu di wujudkan. Sehingga untuk mewujdkan satu sistim demokrasi kerakyatan yang diimpikan oleh Negara bangsa Indonesia maka perlu kiranya kita membangun satu kepentingan rakyat.

Sebagaimana yang pernah disarankan oleh Amien Rais ada beberapa agenda eksternal yang harus di wujudkan untuk merespon kebijakan semena-mena pemerintahan hari ini, dengan adanya krisis kemanusiaan serta maraknya diskriminasi atas rakyat indonesia dan lemahnya sistim negara kita yang berpihak kepada pemodal.

Pertama, bergabung dengan kekuatan – kekuatan reformis agar reformasi total yang sudah direncanakan setelah tumbangnya Soeharto dapat berhasil seperti yang dicita-citakan. Kedua, menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi langka-langka Mujahid ke depan, dan bukan kepentingan kekuasaan. Ketiga, mengibarkan terus panji amar ma’ruf nahi mungkar di segala bidang kehidupan sesuai dengan kemampuan maksimal seorang Mujahid. Keempat, membangun jaringan kerja sama nasional dan internasional secara transparan dalam rangka ta’awun alal birri wa taqwa, oleh karena tidak mungkin kita dapat berjuang sendirian tapi dengan Massa.

Pada akhirnya kita memang harus bisa membangun satu kekuatan nasional dari lintas agama, lintas suku, lintas ras dan lain-lain untuk memikul tugas bangsa ini yang semakin hari semakin berat. Kita tahu bahwa memang yang akan kita hadapi di masa mendatang secara kuantitatif dan kualitatif itu memang akan jauh berbeda dengan apa yang kita alami pada saat ini.
Bagi saya bangsa yang bijak adalah bangsa yang tidak mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Kalau kita mau jujur dalam waktu yang lalu kita telah berbuat mendewa-dewakan dan mengkultuskan seorang pemimpin, seperti halnya Pak Jokowi di masa periode pertama dan kedua yang diharapkan bisa memberikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Terlalu mendewakan seorang pemimpin sehingga seolah-olah pemimpin tidak perna memiliki kesalahan. Disinilah yang perlu kita sama-masa evaluasi agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Kita juga sudah seharusnya membangun satu demokrasi yang sejati. Seperti yang sudah saya uraikan di atas bahwa dulu kita perna bereksperimen dengan demokrasi parlemen tetapi kemudian gagal, dan kita bereksperimen lagi dengan demokrasi terpimpin dan ternyata sangat tidak tepat atau awut-awutan dan akhirnya gagal lagi. Lantas kita bereksperimen dengan demokrasi pancasila, dan juga gagal. Nah masak hari ini kita mau bereskperimen lagi. Sebaiknya kita ambil hikmanya agar kita tidak melakukan eksperimen lagi di masa mendatang.

Itulah mengapa kita perlu berbenah dan melihat fenomena hari ini agar kita membuat satu sejarah baru untuk menegakan demokrasi yang sejati dengan mengutamakan rasa keadilan social, keadilan politik, keadilan ekonomi, keadilan hukum, keadilan pendidikan dan lain-lain. Saya pikir ini merupakan benang emas dari demokrasi multidimensional dan bersama-sama perlu kita tegakkan di negri yang kita cintai ini. Sementara disisi yang lain penulis juga menyadari bahwa perpindahan dari satu zaman ke zaman lain tidaklah gampang, karena melakukan rekonstruksi mental itu perlu waktu yang panjang. Maka dengan rasa optimis dan mental kuatlah kita dapat mewujudkan apa yang sudah kita cita-citakan.

Editor : ID

Silahkan Berbagi: