Pendidikan

Rahasia Sukses Gerakan Literasi Pesisir Taman Baca Keta

Oleh : Shulhan Rumaru – Pegiat Literasi Taman Baca Keta

Desa Keta, kini tengah menjadi primadona dalam gerakan literasi. Meski berposisi di pesisir Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, namun sepak terjangnya tengah mengundang banyak perhatian dari para pegiat dan instansi yang berkecimpung dalam gerakan literasi di Indonesia.

Melalui komunitas literasi Taman Baca Keta (TBK) yang berdiri tahun 2016, nyala semangat pendidikan di Desa Keta seketika menjadi cahaya harapan yang terang benderang. Dari status desa yang nihil sarjana strata satu (S1) dan banyaknya warga yang hanya tamatan SMP juga SMA, kini menjelma menjadi desa dengan gerakan literasi yang cukup konsisten di Maluku. Keta sekarang telah menyumbang sarjana-sarjana berprestasi, bahkan sejumlah relawan Taman Baca Keta berhasil menembus jenjang Master dan Doktoral pada sejumlah kampus-kampus kenamaan di Amerika Serikat.

Tak hanya itu, Taman Baca Keta bahkan berhasil memperluas dan memperkuat koneksi kolaborasi lintas komunitas seindonesia, juga mendapat Grant untuk pemberdayaan dan pemantapan gerakan literasi dari sejumlah instansi seperti US Congen di Surabaya.

Lebih dari itu semua, Taman Baca Keta kini menjelma sebagai katalisator akademik, laboratorium observasi mimpi anak-anak desa, juga sebagai ruang perjumpaan pikiran dan semangat warga desa tuk menemukan momentum rekonsiliasi dari friksi-friksi politik.

Yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana Keta bisa tumbuh dengan gerakan literasinya melalui Taman Baca Keta? Apa rahasia dapur gerakan literasinya?

Guna menjawab semua pertanyaan yang mengkin menggelayut dalam benak pembaca dan para pemerhati gerakan literasi, maka Taman Baca Keta menerbitkan satu buah buku berjudul “Keta Itu Kita: Refleksi Kerja Literasi Taman Baca Keta.” Dalam buku ini, semua persoalan yang memantik tumbuhnya gerakan literasi ini, juga rahasia dapur diulas dengan lengkap dalam tiga BAB utama.

Mari kita jawab sedikit saja pertanyaan yang ada (sekadar membocorkan isi buku): bagaimana Taman Baca Keta itu muncul?

Dalam BAB I buku ini, Ali Akbar Rumeon selaku pendiri komunitas Taman Baca Keta telah memaparkan soalan ini begitu rinci. Dengan gaya bahasa dan bauran diksi yang menggugah selera baca, Ali memulainya dengan menyuguhkan persoalan yang ada di Keta serta proses dia menemukan keresahan kolektif masyarakat dan anak muda Keta.

Dari keresahan kolektif itulah, Ali membedah dengan detail masalah yang dihadapi orang Keta, tiada lain tiada bukan: ketertinggalan dalam pendidikan. Bayangkan saja, sebelum TBK ada, Keta amat kekurangan orang “terdidik” dalam arti yang mampu menamatkan SMP, SMA apalagi sarjana di tahun 2016.

Selain Ali, dalam buku ini ada juga tulisan dari Faris dan Mahasen sebagai koordinator lapangan yang saban hari menghidupkan suasana belajar dan mentoring di ruang baca TBK yang saat itu menumpang di ruang tengah rumah Kepala Dusun, Desa Keta. Mereka menjelaskan bagaimana ketidakpercayaan publik di awal gerakan juga friksi politik di kampung, itu mempersulit jalannya permentoran anak didik TBK.

Dari tantangan demi tantangan itulah, semua model pergerakan dan teknik permentoran terus diformulasikan guna menemukan cara jitu menghidupkan gerakan literasi di Keta. Dalam BAB I inilah, semua rahasa itu diulas dengan komplit, seakan menemukan blue print pergerakan literasi yang tentu dapat diduplikasi oleh komunitas lain di pesisir Maluku, bahkan Indonesia.

Pada BAB II buku ini, Taman Baca Keta secara ekslusif mengundang setiap orang yang bertalian erat dalam jejaring TBK, baik itu fasilitator, relawan, maupun orang-orang baik yang turut serta merawat semangat literasi di Keta untuk menjadi kontributor.

Latar belakang kontributor yang menyumbang tulisan sangat variatif, mulai dari tim think tank TBK, perwakilan lembaga pemberi grant, para guru dan dosen, jurnalis, peneliti, hingga para profesional. Tentu saja, sumbangan tulisan mereka memang enak dibaca sebab sudut pandangnya beragam tentang sebuah gerakan literasi, terutama gerakan literasi yang menyala di Taman Baca Keta.

Jujur saja, BAB II ini sangat memperluas perspektif kita tentang bagaimana sebuah niatan baik itu memiliki resonansi positif yang mampu menggerakkan orang lain untuk turun tangan dan urun membantu. Daniel Goleman dalam bukunya Social Intelligence, mengistilahkan ini sebagai “neorologi syaraf mimpi,” dimana orang-orang yang punya mimpi akan saling terhubung satu dengan lainnya.

Terakhir, di BAB III buku ini, Taman Baca Keta menyajikan sekumpulan resensi buku yang selama ini dijadikan model rujukan dalam menginjeksi semangat dan mengembangkan persapektif para mentor dan relawan tentang self development dan pentingnya merawat cita-cita.

Akhirnya, buku KETA ITU KITA setebal 312 halaman ini, disajikan di tengah pembaca sebagai bagian dari ikhtiar intelektual kolektif tuk meluaskan gerakan literasi ke seantero Maluku dan Indonesia. Dari buku ini, pembaca akan tahu bahwa di Keta; semua orang bicara mimpi dan pendidikan. Jika Anda membaca buku ini, maka inilah buah karya literasi para mentor Taman Baca Keta. Selamat mendaras!

Salam Literasi,

Editor : AbangKhaM

Silahkan Berbagi: