Hukum & Kriminal

Tangis Pecah di PN Soasio: 11 Warga Adat Maba Sangaji Divonis, Teriakkan “Kami Bukan Penjahat!”

Tidore – Suasana haru menyelimuti halaman Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Kota Tidore Kepulauan, saat sidang putusan terhadap sebelas warga adat Maba Sangaji dibacakan pada Kamis (16/10/2025).

Isak tangis dan teriakan bercampur menjadi satu, menggema di depan gedung pengadilan. Mereka menangis bukan karena takut, melainkan karena kecewa atas vonis yang dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan.

Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Asma Fandun, SH., M.H., menjatuhkan vonis bersalah kepada sebelas warga adat Maba Sangaji dengan dasar Pasal 162 Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2022. Para warga divonis lima bulan delapan hari penjara dan denda Rp5.000.

Baca Juga: STIMI Ternate Catat Sejarah! Gelar Yudisium Perdana untuk 15 Lulusan Angkatan Pertama

Begitu pintu ruang sidang terbuka, suasana berubah haru. Seorang warga berteriak lantang dengan suara bergetar namun penuh keyakinan:
“Kami bukan penjahat! Kami hanya menjaga tanah kami!”

Teriakan itu menggema, menembus dinding pengadilan, menjadi simbol perlawanan dan cinta terhadap alam yang mereka bela. Bagi warga adat Maba Sangaji, vonis ini hanyalah babak baru dari panjangnya perjuangan mempertahankan tanah adat dari ekspansi perusahaan tambang.

Dari kejauhan, Nahrawi Salamuddin, salah satu pejuang lingkungan, bersuara lantang penuh makna.
“Saya rela mati demi mempertahankan tanah adat yang dirampas perusahaan,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Baca Juga: UMMU Catat Sejarah! 5 Calon Rektor Sampaikan Visi-Misi Terbuka untuk Pertama Kalinya

Sementara itu, Umar Manado, warga lainnya, tak kuasa menahan kecewa.
“Ini tanah adat torang yang kami pertahankan, tapi justru kami yang divonis bersalah,” ujarnya lirih.

Pihak Penasehat Hukum (PH) warga adat, Muhamad Irfan, menilai putusan majelis hakim sangat bermasalah karena mengabaikan banyak fakta penting dalam persidangan.

“Tanah adat yang sudah dikelola masyarakat selama ratusan tahun kalah dengan izin usaha pertambangan (IUP) yang baru terbit tahun 2017. Fakta ini sama sekali tidak masuk dalam pertimbangan hakim,” tegas Irfan.

Baca Juga: Kejari Halteng Bongkar Korupsi Rp11 Miliar, Satu Tersangka Langsung Ditahan!

Ia juga menyoroti diabaikannya kesaksian dari tokoh adat dan perwakilan Kesultanan Tidore.

“Saksi dari Kesultanan Tidore sudah mengakui bahwa wilayah itu adalah tanah adat Maba Sangaji, tapi majelis hakim tidak mempertimbangkannya. Ini peringatan serius bagi keadilan di negeri ini,” ujarnya.

Irfan memastikan pihaknya akan menempuh langkah hukum lanjutan, termasuk kemungkinan banding atau upaya politik hukum lainnya.

“Kami akan diskusikan bersama sebelas warga – apakah akan melakukan perlawanan lewat jalur hukum dengan banding, atau melalui langkah politik,” pungkasnya. (red)

Editor: AbangKhaM

Silahkan Berbagi: