Indonesia Pasca 17+8: Tuntutan Rakyat, Krisis Legitimasi, dan Jalan Rekonsiliasi
“Indonesia Pasca 17+8″
Oleh: Radinal Muhdar
(Mahasiswa Doktoral Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang)
Setelah genap 8 dekade perjalanan panjang sejak kemerdekaan tepat beberapa hari setelah perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus, Indonesia kembali berada pada sebuah titik krisis yang tidak bisa dipandang remeh. Deretan peristiwa demonstrasi yang berakhir tragis dipertontonkan baik secara langsung maupun melalui media sosial hingga viral ke mancanegara, sebuah simbol dari rangkaian tuntutan rakyat, memperlihatkan bagaimana relasi antara pemerintah dan masyarakat tengah berada pada persimpangan jalan. Api protes yang bermula dari keresahan sehari-hari rakyat terhadap kebijakan pemerintah berubah menjadi gelombang besar yang mengguncang pusat kota hingga ke daerah-daerah. Gedung-gedung pemerintahan terbakar, fasilitas umum dirusak, dan puncaknya ketika publik dikejutkan oleh tragedi seorang driver ojol yang terlindas kendaraan lapis baja milik aparat. Kejadian itu menjadi simbol ketegangan akut antara rakyat yang marah dan pemerintah yang dianggap abai.
Baca Juga: Festival Rameang 2025 Meriah, BI Malut & PKK Tidore Kampanyekan Cinta Rupiah
Dalam situasi yang penuh amarah tersebut, mahasiswa kembali mengambil peran yang sama seperti babak-babak sejarah sebelumnya. Mereka berada di barisan depan, mengomandoi gelombang massa, menyuarakan tuntutan, dan merumuskan aspirasi publik ke dalam sebuah daftar panjang yang dikenal sebagai 17+8 tuntutan rakyat. Ke-25 tuntutan itu bukan sekadar kumpulan protes acak, melainkan representasi dari akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap negara. Sejumlah tokoh masyarakat sipil, organisasi buruh, hingga akademisi turut serta memperkuat aspirasi tersebut. Bahkan sejumlah influencer dan artis ikut mendorong viralnya tuntutan itu, sehingga wacana perlawanan rakyat meluas ke berbagai lapisan masyarakat.
Dari 25 tuntutan itu, 17 bersifat jangka pendek dengan target penyelesaian segera.
Tuntutan itu diarahkan kepada Presiden Prabowo, DPR, partai politik, aparat kepolisian dan militer, serta kementerian ekonomi agar menghentikan represi, membuka transparansi, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Sementara 8 sisanya bersifat jangka panjang, dengan tenggat satu tahun, yang berfokus pada reformasi mendasar, mulai dari perbaikan sistem perpajakan, pemberantasan korupsi, hingga penguatan demokrasi dan keadilan sosial. Inilah titik balik yang membuat masyarakat melihat bahwa gelombang protes kali ini tidak bisa dianggap sekadar keributan spontan, melainkan sinyal serius akan adanya kebutuhan korektif besar terhadap jalannya pemerintahan yang sering menggorok hati nurani terdalam masyarakat.
Baca Juga: Coklit Terbatas: Strategi KPU Haltim Jaga Kualitas Data Pemilih 2025
Namun di tengah gegap gempita tuntutan rakyat, muncul pula narasi tandingan dari pihak pemerintah. Mereka menganggap aksi ini bukan murni suara rakyat, melainkan digerakkan oleh kepentingan asing. Nama-nama besar seperti George Soros bahkan ikut diseret dalam analisa pemerintah, seolah ada pihak luar yang sengaja mengorkestrasi kekacauan untuk mengguncang stabilitas bangsa. Berbagai media mengangkat teori konspirasi itu, sebagian bahkan menyebutkan kemungkinan keterlibatan negara-negara tertentu dalam memperkeruh suasana. Tetapi bagi masyarakat, narasi semacam ini terasa seperti upaya cuci tangan. Mereka melihat bahwa keresahan yang melahirkan demonstrasi sudah terlalu dalam untuk sekadar dianggap sebagai hasil rekayasa pihak asing.
Baca Juga: PT SGM Group Wujudkan Komitmen Kesejahteraan Karyawan lewat “Kantin SGM Bahagia”
Dalam pandangan publik, yang paling pantas dituding sebagai dalang dari segala kegaduhan ini adalah pemerintah sendiri. Sebelum gejolak terjadi, sudah banyak kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Dari banyaknya pernyataan pejabat yang terkesan meremehkan bahkan mengolok-olok penderitaan masyarakat, hingga kebijakan ekonomi dan pajak yang menekan lapisan menengah-bawah, semua menumpuk menjadi bara yang menunggu percikan api. Maka, ketika sebuah peristiwa tragis yang merenggut nyawa driver ojol terjadi, masyarakat sudah siap meledak. Demonstrasi besar yang berujung pada kerusuhan hanyalah bentuk paling kasat mata dari akumulasi rasa sakit hati rakyat terhadap pemimpinnya.
Jika benar ada pihak asing yang menunggangi situasi ini, hal itu semestinya menjadi cermin bagi pemerintah. Mereka harus menyadari bahwa pintu masuk bagi kekuatan luar terbuka lebar bukan karena rakyat mudah diprovokasi, tetapi karena rakyat sudah kehilangan rasa percaya, maka kita bisa katakan bahwa pemerintahlah yang mengundang pihak asing untuk menunggangi kemarahan masyarakat!. Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah berada pada titik nadir, sehingga kemarahan kolektif menjadi lahan subur bagi siapa saja yang ingin mengambil keuntungan. Pepatah mengatakan, “Angin luar tak akan mampu menggoyang rumah bila tiangnya kokoh.” Artinya, jika pemerintah benar-benar adil, transparan, dan berpihak pada rakyat, maka tidak ada pihak asing yang bisa dengan mudah mengacak-acak stabilitas nasional.
Pertanyaan terbesar yang muncul setelah rentetan gelombang aksi yang melahirkan 17+8 tuntutan ini adalah bagaimana wajah Indonesia ke depannya? Apakah tuntutan rakyat akan kembali menjadi agenda formalitas pemerintah dalam menerima tuntutan dan tumpukan kertas yang dilupakan, atau justru menjadi titik balik untuk membangun tata kelola negara yang lebih adil? Setiap gerakan protes membawa pesan bahwa rakyat masih percaya pada jalur konstitusional, bahwa mereka memilih untuk menyampaikan kritik lewat jalan demonstrasi, bukan melalui kekerasan yang membabi buta. Namun, jika tuntutan yang sudah disampaikan dengan lantang tetap diabaikan, sejarah menunjukkan bahwa kekecewaan akan berubah menjadi apatisme atau bahkan perlawanan yang lebih keras.
Baca Juga: Bangkitkan Warisan Leluhur, Dorari Isa Resmi Jadi Kampung Bahasa Daerah Pertama di Ternate
Dalam konteks ini, kita coba untuk melihat apa kata sosiolog untuk menarik benang merah dengan teori legitimasi yang dikemukakan Suchman. Legitimasi merupakan keyakinan masyarakat bahwa tindakan pemerintah sesuai dengan norma, nilai, dan harapan bersama. Jika legitimasi runtuh, maka kepercayaan publik pun hilang. Demonstrasi dengan 17+8 tuntutan bisa dibaca sebagai tanda bahwa legitimasi pemerintah tengah berada dalam krisis serius. Rakyat sudah tidak lagi merasa kebijakan negara merepresentasikan kepentingan mereka. Sebaliknya, negara dipandang hanya melayani segelintir elit lingkar kekuasaan yang menikmati privilese di atas penderitaan rakyat banyak.
Di sisi lain, teori kontrak sosial dari Rousseau juga sangat relevan untuk menjelaskan fenomena ini. Dalam kerangka kontrak sosial, rakyat menyerahkan sebagian haknya kepada negara dengan harapan negara akan melindungi mereka dan mengelola kehidupan bersama secara adil. Namun, jika negara gagal menjalankan kewajibannya, kontrak sosial itu dianggap dilanggar. Demonstrasi besar-besaran dapat dimaknai sebagai bentuk penegasan rakyat bahwa kontrak sosial sedang berada dalam titik rawan. Mereka menuntut negara untuk kembali pada janji awalnya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum.
Baca Juga: Program Ketahanan Pangan Prabowo-Gibran Mulai di Halut, Kapolres & Pemuda Muhammadiyah Turun Lapangan
Penting dipahami bahwa tuntutan rakyat bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki hubungan yang retak. Pemerintah memiliki kesempatan emas untuk membuktikan bahwa mereka tidak tuli terhadap suara rakyat. Jika tuntutan 17+8 dijadikan agenda nyata, bukan sekadar formalitas, maka yang terjadi adalah proses rekonsiliasi besar. Rakyat akan merasa diakui, pemerintah mendapatkan kembali legitimasi, dan hubungan sosial politik bisa kembali stabil. Inilah jalan menuju harmonisasi yang sesungguhnya.
Harmonisasi antara rakyat dan pemerintah tidak bisa hanya dibangun di atas janji, melainkan harus diwujudkan melalui kebijakan nyata. UUD 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Pancasila pun memberikan landasan moral bahwa negara harus menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengabaikan aspirasi rakyat sama saja dengan mengkhianati konstitusi. Karena itu, setiap poin dalam 17+8 harus diperlakukan sebagai alarm yang tidak boleh diabaikan, melainkan sebagai dasar untuk melakukan reformasi yang mendalam.
Baca Juga: Bupati Haltim Lepas 16 Anggota Satpol PP dan Damkar Ikuti Pelatihan Komcad di Ambon
Di sinilah solidaritas masyarakat menemukan makna barunya. Protes besar yang melibatkan mahasiswa, buruh, hingga organisasi sipil menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki daya kolektif untuk mengawal arah bangsa. Solidaritas ini bukanlah tanda perpecahan, melainkan kekuatan sosial yang bisa menjadi mitra negara dalam membangun masa depan bersama. Pemerintah seharusnya tidak melihat rakyat sebagai ancaman, tetapi sebagai partner dalam menjalankan kontrak sosial. Dengan begitu, energi protes bisa berubah menjadi energi pembangunan.
Pada akhirnya, krisis pasca 17+8 adalah kesempatan untuk melakukan introspeksi nasional. Pemerintah bisa memilih jalan lama, menutup telinga dan menyalahkan pihak asing, atau memilih jalan baru: mendengarkan, mereformasi, dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Jalan pertama hanya akan memperpanjang konflik dan membuka peluang intervensi pihak luar. Jalan kedua akan menutup celah itu, sekaligus memperkuat pondasi bangsa menuju masa depan yang lebih kokoh.
Baca Juga: Kabar Baik! RSUD Maba Bakal Dibanjiri Dokter Spesialis
Jika pemerintah berani mengambil langkah korektif, maka peristiwa tragis yang memakan korban jiwa tidak akan menjadi sia-sia. Sebaliknya, ia akan tercatat sebagai titik balik sejarah, di mana rakyat dan negara kembali berdiri sejajar untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa. Dalam kerangka hukum, aspirasi rakyat yang diwujudkan melalui demonstrasi sepenuhnya dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga mengatur bahwa negara wajib melindungi penyampaian aspirasi rakyat sepanjang dilakukan secara damai.
Dengan demikian, merespons tuntutan 17+8 bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban konstitusional. Jika pemerintah mampu menjadikan tuntutan ini sebagai landasan perbaikan, maka kontrak sosial antara rakyat dan negara akan kembali kokoh, legitimasi politik akan menguat, dan harmonisasi sosial dapat tercapai. Pada titik itulah, Indonesia tidak hanya keluar dari krisis, tetapi juga melangkah menuju masa depan yang lebih solid sebagai bangsa yang berdaulat, adil, dan bermartabat.
