Opini

PETANI DAN PENGUASA

Oleh : Suryanto Rauf – Sekum BPL HMI Cabang Ternate 2023-2024

Sudahkah negara ini adil atas rakatnya ? “Sungguh kasihan manusia, yang tersesat oleh perbedaan-perbedaan bentuk, tetapi gagal menangkap persamaan-persamaan yang hakiki“.

Saat ini negara semakin gawat dan rakyat tambah menderita, negara yang harusnya melindungi dan mengayomi masyarakat kini semakin menjadi superior dalam segala hal, tidak hanya properti umum bahkan masalah privatpun kini turut dicampuri oleh pemerintah dengan disahkannya undang-undang siluman di tahun 2022 atau disebut sebagai undang-undang cilaka hasil rekomendasi pemilik modal dan pengusa dalam hal ini adalah pemerintah.

Perselingkuhan ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat ini, tapi sudah sejak negara indonesia ditemukan oleh para bajak laut dari negara maju seperti Spanyol, Inggris dan Belanda, sudah ada yang menjadi penjajah terlebih dahulu terhadap petani. Seperti misalnya tanah yang digarap oleh petani namun petani justru dituntut untuk membayar pajak kepada pihak kerajaan atau kaum feodal karna mereka mendaulatkan diri sebagai pemilik tanah.

Nasib petani memang sudah lama tidak diperhatikan oleh negara. Dalam sejarah Indonesia, studi politik agraria tidak bisa dilepaskan dari satu hari yang sangat bersejarah, dimana pada tanggal 24 september tahun 1960 disahkan undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau yang disingkat UUPA.

Jika kita berhenti sejenak dan membaca sejarah dibalik latar belakang keputusan perumusan UUPA tersebut sebanarnya bertujuan untuk berusaha mengatasi berlakunya dualisme hukum agraria masa kolonialisme yakni : 1. Hukum yang berasal dari penjajah ( kolonial ), disebut juga hukum barat. 2. Hukum yang berasal dari adat asli Indonesia.

UUPA pada saat itu merupakan hukum agraria yang maju. Dengan UUPA, pemerintah dan masyarakat pasca kolonial bersama-sama melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara – bangsa. Sebagaimana kita lihat tercantum dalam dokumen-dokumen dasar negara seperti amanat dalam Pancasila dan Undang- Undang 1945.

Undang – undang ini lahir salah satunya untuk menjamin hak-hak rakyat petani atas sumber daya agraria seperti bumi, air, ruang-ruang angkasa dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya, serta mengatur perolehan hasilnya agar rakyat petani menjadi sejahtera atas apa yang dihasilkan. Pada saat itu usaha ini dikenal sebagai pembaharuan agraria (agrarian reform). Pembaharuan agraria dalam arti sempit adalah land reform. Kata reform berasal dari bahasa inggris, artinya pembaharuan dalam bidang kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Tanggal 24 september 1963 ditetapkan sebagai “ Hari Tani “ yang perlu diperingati secara khidmat dan dirayakan dengan disertai kegiatan-kegiatan serta penyusunan rencana kerja ke arah mempertinggi produksi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat tani menuju masyarakat adil makmur ( Harsono, 1970,4 ). Semenjak 24 september 1960 tersebut, rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan hak-haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengelola tanahnya demi kemakmuran.

Disini penulis menafsirkan bahwa politik agraria yang diamanatkan oleh UUPA adalah populisme. Sampai semua berubah lewat pundak kepemimpinan baru di masa orde baru yang disebut sebagai revolusi pembangunan yang akan meruntuhkan populisme tersebut.

Sejak peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno kepada yang baru di bawah kekuatan militer ala Suharto. Undang-undang pokok agraria mengalami sebuah pembaharuan sehingga setiap kebijakan politik dikendalikan oleh rezim Suharto. Perubahan politik agraria yang populis kedalam politik revolusi yang baru oleh kekuatan Suharto mampu membunuh setiap sendi-sendi bermasyarakat dan bernegara, dimana setiap sendi-sendi dikuasai oleh politik kekuasaan (Otoritarianisme) dan Pembangunan kapitalisme.
Sementara itu lewat perkembangan yang ada, dimana hukum agraria yang harusnya sudah banyak mengalami perubahan kearah yang lebih baik dapat dipastikan jalan ditempat atau berubah namun tidak sedikitpun berpihak kepada rakyat kecil.

Lihat saja pada tahun 2020 Jokowi sempat menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria. Dasar hukum ini mengatur subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan,penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Namun yang perlu dilihat adalah bahwa undang-undang ini sebenarnya adalah satu undang-undang yang melegitimasi kekuasaan pemerintah untuk mengambil semua hak-hak rakyat.

Kita masih melihat banyaknya tanah-tanah petani diambil paksa oleh negara, bahkan dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip dasar dalam undang-undang 1945. Masyarakat mendapatkan kriminalisasi dari negara dengan kekuatan aparatur negara seperti TNI, POLRI maupun SATPOL PP. Sehingga dengan banyaknya kegiatan pemerintah yang justru ada membuat masyarakat ( petani ) semakin tidak diperhatikan hak-haknya.

Pengambilan hak-hak rakyat masih tetap dengan cara-cara lama dengan memanfaatkan tenaga institusi polri dan tentara untuk mengamankan setiap investasi yang dicanangkan sebagai program legislasi nasional ( prolegnas ). Gaya kepemimpinan yang kacau dan tidak berasaskan kepada dasar serta nilai keadilan inilah yang menjadi pokok masalah dalam membangun kemajuan bangsa kedepan, bagi penulis jika pemimpin tidak memiliki kedekatan dan dasar sebagai seorang pribadi profetik maka negara tidak akan menemukan pulau yang aman untuk berlabuh agar berhenti dihantam oleh badai gelombang.

Editor : ID

Silahkan Berbagi: