Opini

Korupsi Dan Marifat Pelacur Maluku Utara

Oleh : Suryanto Rauf – Sekretaris Umum BPL HMI Cabang Ternate

Tulisan ini sengaja ku tuliskan di atas kanvas jalanan tua dari tapak-tapak antrian Pelacur yang setiap malam menggadaikan tubuhnya di tengah arus rasio politik di Indonesia, wabil khusus Maluku Utara.

Saya tahu, bahwa judulnya terdengar penuh pretensi. Tapi alasan untuk itu persis merupakan pembenarannya sendiri atas fakta dan realitas yang kini ada di Maluku Utara. Saya tau dengan judul ini, saya bukanlah siapa – siapa dan mungkin ini adalah tindakan memalukan dari seseorang yang hanya punya sketsa dan draf tak lengkap untuk ditawarkan agar dijadikan pertimbangan politik. Tetapi inilah aku yang berdiri untuk menuliskan selimut penghangat dari tubuh yang dianggap sampah oleh Pemerintah dan Masyarakatnya.

Aku menulis hari ini sebenarnya karna terinspirasi dari sebuah buku berwarna hijau karya Jeremy R. Carrette “Agama, Seksualitas dan Kebudayaan” yang juga sebenarnya di adopsi dari karya esai, kulia dan wawancara terpilih dirinya atas Foucault. Atau bisa di bilang buku ini adalah kumpulan pikiran Foucault.

Duhai jiwa-jiwa yang terpisah dari tubuh. Sungguh merana dan terasingnya dirimu. Hati menangis tapi mulut harus tetap bersuara merdu. Hidupmu bagaikan dipasung di tiang salib lebih lama dari yang dialami Yesus sang penebus dosa. Bedakmu yang tebal tercipta dari sengsara yang tak mau berpisah dari kulitmu. Bajumu yang terbuka dan aurat yang kau hamparkan ternyata masih kalah menariknya dari para pemimpin kita yang setiap hari memamerkan rumah mewah dan mobil mereka yang keluaran terbaru dari pabrikan terkenal.

Tubuhmu kutukan yang muncul bukan dari langit, tapi ciptaan yang dinasibkan oleh kekuatan sosial dan ekonomi-politik. Adakah ahli spiritual dan mistikus yang sudi membahasakan desahanmu yang tidak kalah religiusnya dengan suara azan di menara-menara rumah tuhan?

Perjalanan hidupmu dalam meresapi penderitaan hingga merasuk dalam pori-pori tubuhmu adalah salah satu bentuk aktifisme spiritual yang mendarah daging dalam dunia.

Kami tidak pernah memilih hidup seperti ini. Sejak kecil kami selalu terbuai oleh pertanyaan tentang cita-cita masa depan. Dokter, insinyur, guru, profesor, direktur dan sebagainya, adalah suara-suara yang kini terdengar menyakitkan, karena semuanya itu adalah surga yang terampas dari hidup kami.

Menatap kenyataan dan menyambung nyawa adalah jihad kami yang berlumpur. Dunia memang mencaci status dan cara hidup kami, tapi bolehkah kami bertanya; bukankah seharusnya kita terlahir dengan membawa warisan kekayaan tanah air ini sehingga kami mampu mencukupi perut dan mengisi kepala kami dengan pengetahuan.

Dengan keduanya kami mampu bertarung dengan gagah di dunia pasar. Tapi dalam kenyataannya, kami dibesarkan dengan hutang dan kelaparan. Dililit usus kemiskinan membuat kami susah mencerna peradaban.

Orang tua dipenjara oleh kesengsaraan ekonomi, karena rantai kemiskinan dan kebodohan tidak mau enyah dari desa kami. Pembangunan tidak pernah sampai ke gubug orang tua kami, karena jalur subsidi sudah dibajak oleh pegawai kelurahan, kecamatan, bupati, gubernuran dan pejabat-pejabat teras yang bekerja sama dengan babi-babi berdasi yang rakus dan perlente.

Silahkan Berbagi: