Opini

Konflik di Bitung, Sulawesi Utara: Eskalasi dan Tensi Sosio-Kultural

Oleh: Alfath Satria Negara Syaban – PhD Student at University of Alabama

Sejak era kolonial Belanda, Manado dan wilayah Minahasa, termasuk Minahasa Utara dan Kota Bitung, telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Diterima secara luas oleh masyarakat setempat, misi Kristen berperan dalam memperkuat pengaruh budaya Belanda di wilayah ini. Meskipun tidak semua warga mengadopsi agama Kristen, interaksi antara budaya lokal dan agama Kristen menjadi sangat erat, mirip dengan cara nilai-nilai Islam terintegrasi dalam tradisi lokal di Aceh, Melayu, dan Sunda. Fenomena ini menjadi landasan nilai bagi mayoritas penduduk Minahasa, yang dikenal karena toleransinya terhadap budaya lain.

Kemampuan masyarakat lokal untuk menerima dan mengintegrasikan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia melalui pernikahan, bisnis, dan interaksi sosial-budaya menunjukkan fleksibilitas budaya mereka. Hal ini terlihat jelas saat konflik SARA terjadi di Maluku dan Sulawesi Tengah, di mana wilayah ini menjadi tuan rumah bagi banyak pengungsi dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Meskipun sempat muncul kekhawatiran bahwa Manado dan sekitarnya bisa menjadi lokasi konflik SARA berikutnya, pemerintah dan masyarakat dengan cepat mengantisipasi dan menangani isu ini, mencegah dampak buruk yang mungkin terjadi. Istilah “Torang Samua Basudara”, yang berarti “Kita Semua Bersaudara”, digunakan sebagai narasi penyeimbang terhadap narasi-narasi provokatif yang berkembang di masyarakat.

Dalam beberapa dekade setelah kerusuhan 1999 di Maluku dan Sulawesi Tengah, kondisi sosial di Manado dan Minahasa tergolong kondusif. Namun, suasana tegang mulai meningkat lagi setelah pemilihan umum presiden tahun 2014, memicu polarisasi masyarakat menjadi dua kutub. Narasi ‘kadrun’ dan ‘cebong’ yang direpresentasikan sebagai kelompok religius radikal dan kelompok nasionalis Pancasilais mulai menonjol, menunjukkan adanya perpecahan dalam masyarakat. Konflik ini berkembang menjadi bagian dari banyak sayap-sayap organisasi massa dan politik, semakin memperkuat polarisasi di masyarakat. Isu-isu seperti Islam vs Kristen, lokal vs pendatang, pribumi vs aseng asing, dan Pro Palestina vs Pro Israel semakin menambah kompleksitas dinamika sosial dan budaya di wilayah ini, khususnya setelah konflik bersenjata terbaru antara dua entitas tersebut.

Di Manado terdapat istilah, istilah ‘sabla aer’ diperkenalkan oleh Ph. E. L. Sigar (1923) untuk mengidentifikasi penduduk kepulauan Nusa Utara di Manado Utara. Sejak pembagian geografis Manado menjadi dua wilayah, utara dan selatan, oleh Sungai Tondano di era kolonial, arti dari istilah ini mengalami pergeseran signifikan. Seperti yang dijelaskan oleh Sylado (dikutip dari Sumampouw, 2015), ‘sabla aer’ saat ini tidak hanya merujuk pada lokasi geografis, tetapi juga telah berkembang menjadi label dengan konotasi rasial yang merendahkan terhadap suku asli Nusa Utara. Lebih lanjut, istilah ini kini digunakan secara luas untuk mendeskripsikan semua penduduk Manado yang tidak termasuk dalam etnis Minahasa atau beragama Kristen.

Secara kultural, ‘sabla aer’ telah menjadi istilah peyoratif yang digunakan untuk menyebut penduduk Nusa Utara atau Muslim, serta mereka yang menunjukkan perilaku yang sesuai dengan stereotip negatif seperti kampungan dan kurang pendidikan. Di ruang spasial, istilah ini secara khusus merujuk pada Manado Utara, yang mayoritas penduduknya Muslim, dan diwakili oleh simbol-simbol seperti masjid di perbatasan wilayah yang dianggap sebagai representasi kasar terhadap komunitas Muslim di wilayah yang didominasi Kristen. Stigma yang melekat pada istilah ini telah menjadi bagian dari persepsi masyarakat, mempengaruhi struktur sosial kota dan menciptakan pandangan negatif terhadap penduduknya. Menurut Schrag (seperti dikutip oleh Adang, 2010), pelabelan semacam ini dapat memicu perilaku kriminal, dengan individu atau kelompok yang bertindak sesuai dengan label yang dilekatkan pada mereka. Dalam konteks Manado Utara, wilayah ini dianggap sebagai area dengan tingkat kriminalitas yang lebih tinggi karena kompleksitas dinamika sosio-spasialnya. Oleh karena itu, pendekatan yang berfokus pada aspek sosiologis, kultural, dan religius dianggap penting untuk mencegah konflik di masa depan dan menciptakan masyarakat yang lebih aman dan harmonis.

Kota Bitung di Sulawesi Utara saat ini menjadi arena pertarungan ideologi dan agama, dengan ketegangan yang memuncak dan memicu bentrokan antara dua kelompok masyarakat. Konflik ini, yang diwarnai oleh polarisasi tajam dalam isu agama dan budaya, menandai peningkatan dramatis dalam sensitivitas antar kelompok. Media sosial, yang dituding sebagai biang keladi dari narasi yang memprovokasi, terbukti menjadi katalisator yang memperkeruh suasana yang sudah memanas. Insiden paling baru, yang berkaitan dengan dukungan untuk Palestina dan Israel, berakhir tragis dengan korban jiwa, menggambarkan betapa rapuhnya tatanan sosial yang telah lama terbina di Bitung. Situasi ini tidak hanya menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap polarisasi ideologi, tetapi juga menjadi sorotan atas pengaruh peristiwa global terhadap konflik lokal yang bergejolak.

Pasca konflik, pemerintah setempat dan pemimpin masyarakat di Bitung telah berjuang keras untuk meredakan api konflik pasca-kejadian. Dengan serangkaian dialog dan pertemuan komunitas yang intens, mereka berusaha keras membangun jembatan komunikasi antar kelompok yang berseteru. Namun, upaya ini, sekalipun penting, terlihat seperti menari di atas luka yang masih segar, berusaha mempromosikan pemahaman dan toleransi di tengah masyarakat yang sudah terpecah. Tokoh agama dan budaya setempat juga mencoba terlibat dalam diskusi ini, menekankan pentingnya keharmonisan sosial yang tampaknya semakin sulit dicapai. Berbagai aktivitas seperti workshop, pertemuan antar-agama, dan kampanye kesadaran sosial menjadi strategi yang tampaknya terlambat dalam upaya meningkatkan persatuan dan mengurangi kesalahpahaman.

Sementara itu, situasi di Bitung telah memicu debat panas mengenai pentingnya edukasi dan literasi media bagi masyarakat. Pemalsuan informasi dan narasi yang memprovokasi di media sosial kini diakui sebagai salah satu akar utama dari ketegangan yang meningkat. Dalam sebuah panggilan untuk aksi yang mendesak, ada tuntutan untuk pendidikan yang lebih efektif tentang cara mengkonsumsi dan merespons informasi secara kritis. Namun, program-program ini, yang bertujuan untuk mengajarkan masyarakat cara mengidentifikasi berita palsu dan retorika yang memecah belah, serta mendorong dialog konstruktif, masih dipertanyakan efektivitasnya dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Pendekatan ini, sementara diharapkan bisa meredakan ketegangan di Bitung, masih harus membuktikan apakah ia bisa membantu membangun masyarakat yang lebih tangguh dan terinformasi di masa yang akan datang.

Selain itu pendekatan revolusioner dan multidimensi mendesak untuk diadopsi. Langkah pertama, yaitu mengimplementasikan program pendidikan dan kesadaran budaya yang komprehensif, dirancang untuk mengobarkan pemahaman dan apresiasi atas keberagaman budaya dan agama. Inisiatif ini akan menghancurkan norma-norma pendidikan konvensional, mendobrak kurikulum sekolah yang eksklusif, dan melancarkan workshop komunitas serta kampanye media yang radikal untuk menanamkan toleransi dan pemahaman lintas budaya. Pendidikan bukan lagi sekedar transfer ilmu, melainkan sebuah perjalanan untuk memahami sejarah lokal dan pengaruh berbagai budaya, termasuk peninggalan kolonial yang kontroversial, untuk membangun masyarakat yang lebih terinformasi dan kritis.

Kedua, pemerintah lokal dan pemimpin masyarakat, termasuk tokoh agama dan budaya, harus melangkah lebih jauh dengan menginisiasi dialog antarkomunitas yang eksplosif. Dialog ini bukan sekadar pertemuan formal, melainkan arena pertarungan ide dan gagasan untuk meruntuhkan dinding pemisah dan membangun kesadaran kolektif. Semua kelompok masyarakat, terutama yang terpinggirkan atau terkena label negatif, harus terlibat dalam pertempuran dialog ini untuk berbagi pengalaman dan pandangan, serta mencari solusi bersama atas permasalahan yang dihadapi.

Ketiga, dampak destruktif dari media sosial yang provokatif memerlukan implementasi program literasi media yang kuat dan tegas. Program ini bukan hanya pelatihan biasa, melainkan sebuah upaya keras untuk mengajarkan masyarakat cara mengidentifikasi berita palsu dan memahami dampak dari narasi yang memecah belah. Edukasi ini ditujukan tidak hanya untuk generasi muda, tetapi juga untuk semua segmen masyarakat, termasuk orang tua dan pemimpin komunitas yang sering kali menjadi sumber opini publik. Program ini juga harus mencakup strategi efektif untuk berpartisipasi dalam dialog konstruktif online dan mengelola konflik di ruang digital.

Dengan pendekatan yang berani ini, Manado dan wilayah sekitarnya diharapkan tidak hanya mengatasi tantangan yang disebabkan oleh perubahan sosial dan budaya, tetapi juga memperkuat fondasi toleransi dan kerukunan yang telah lama menjadi identitas daerah ini. Pendekatan ini bisa menjadi blueprint bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa dalam menangani konflik sosial dan budaya di era modern yang terus berubah dan penuh tantangan.

SALAM DAMAI

Silahkan Berbagi:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *