Islam Hijau dan Islam Biru: Revolusi Tauhid Menyelamatkan Bumi dari Krisis Ekologis
Ekoteologi: Islam Hijau dan Islam Biru
Oleh: M. Sakti Garwan, M.Ag (Pemerhati Tafsir Al-Qur’an)
Ekoteologi dalam Islam lahir dari kesadaran teologis bahwa seluruh ciptaan merupakan kesatuan kosmis yang tidak terpisahkan dari kehendak Tuhan. Ontologi Islam meletakkan prinsip tauhid sebagai dasar keberadaan seluruh realitas, termasuk alam. Tuhan bukan hanya Pencipta, tetapi juga Penjamin keteraturan alam semesta. Allah berfirman: “Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi, dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan” (Q.S. Āli ‘Imrān [3]: 109). Dengan demikian, keberadaan alam bersifat teosentris, bukan antroposentris. Setiap unsur kosmos adalah manifestasi dari nama-nama Allah (asmā’ Allāh al-ḥusnā) (Nasr, 1996).
Dalam dimensi ontologis, manusia diposisikan sebagai khalīfah—representasi Tuhan di bumi—yang bertugas menjaga keseimbangan alam, bukan penguasa absolut atasnya. Q.S. al-Baqarah [2]: 30 menegaskan: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Ayat ini menunjukkan adanya mandat eksistensial bagi manusia untuk menjadi penjaga keberlanjutan ciptaan. Para mufassir klasik seperti al-Rāzī menjelaskan bahwa istilah khalīfah mencakup makna amanah moral, bukan kekuasaan dominatif (Mafātīḥ al-Ghayb). Oleh karena itu, kerusakan lingkungan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap ontologi khalifah itu sendiri.
Baca Juga: Ratusan Warga Tumpah Ruah di Galela! ‘Tarakani Fun Run’ Bakar Semangat Sumpah Pemuda 2025
Ekoteologi Islam berangkat dari prinsip mīzān (keseimbangan). Dalam Q.S. al-Raḥmān [55]: 7–9, Allah menegaskan: “Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia letakkan neraca (keseimbangan). Janganlah kamu merusak keseimbangan itu.” Al-Ṭabarī menafsirkan ayat ini bahwa keseimbangan alam merupakan struktur moral ciptaan, bukan sekadar tatanan fisik. Alam memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati karena ia berfungsi sesuai dengan hukum ilahi (sunnat Allāh) (al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān).
Islam Hijau muncul sebagai respons terhadap krisis ekologis modern yang berakar dari paradigma antroposentrisme dan kapitalisme ekologis. Krisis ini, menurut Lynn White Jr. (1967), berasal dari teologi Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat dan pemilik alam. Islam, sebaliknya, menolak dikotomi antara Tuhan, manusia, dan alam. Dalam epistemologi Islam, pengetahuan tentang alam adalah bentuk ta‘abbur (perenungan spiritual) atas ayat-ayat Tuhan yang terbentang di alam semesta (āyāt kauniyyah) (Khalid, 2002).
Baca Juga: Pemuda Bersatu! KNPI Halut Gelar Musda VII, Wabup Kasman: Saatnya Pemuda Jadi Penggerak Perubahan
Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, modernitas telah menanggalkan kesakralan kosmos dan menggantikannya dengan pandangan mekanistik yang memisahkan manusia dari alam (Nasr, 1996). Ia menegaskan bahwa krisis ekologi adalah krisis spiritual. Ekoteologi Islam Hijau, karenanya, berfungsi sebagai kritik metafisis terhadap kehilangan nilai sakral tersebut. Alam dalam Islam adalah “kitab kedua” setelah al-Qur’an, tempat manusia membaca tanda-tanda kebesaran Ilahi.
Q.S. al-Rūm [30]: 41 menyatakan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” Para mufassir seperti al-Qurṭubī menafsirkan bahwa ayat ini bukan hanya menjelaskan realitas ekologis, tetapi juga moralitas sosial manusia yang serakah dan tidak berimbang (al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān). Dalam konteks Islam Hijau, ayat ini menjadi peringatan bahwa perusakan alam adalah refleksi kerusakan etika manusia.
Hadis Nabi Muhammad saw. juga memberikan dasar moral bagi ekoteologi. Beliau bersabda: “Jika terjadi kiamat sementara di tanganmu ada bibit tanaman, maka tanamlah ia” (HR. Aḥmad). Hadis ini menegaskan etika tanggung jawab ekologis tanpa syarat waktu. Islam Hijau memaknai tindakan kecil seperti menanam pohon sebagai amal saleh yang berkontribusi terhadap keberlanjutan hidup.
Baca Juga: Pemkab Haltim Mulai Evaluasi Pejabat Eselon II, Siapa yang Layak Dipertahankan?
Sementara itu, Islam Biru mengembangkan dimensi teologis atas air sebagai sumber kehidupan dan rahmat Tuhan. Allah berfirman: “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (Q.S. al-Anbiyā’ [21]: 30). Tafsir al-Ṭabarī menekankan bahwa ayat ini menunjukkan peran ontologis air sebagai substansi asal kehidupan. Oleh karena itu, pencemaran air sama dengan mengotori sumber penciptaan. Islam Biru menuntut pengelolaan air berbasis keadilan ekologis dan spiritualitas.
Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abū Dāwūd). Hadis ini mengandung prinsip bahwa sumber daya vital tidak boleh dimonopoli atau dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang. Secara aksiologis, Islam Biru menegaskan nilai kemaslahatan (maṣlaḥah ‘āmmah) di atas kepentingan pribadi.
Ekoteologi Islam tidak berhenti pada level normatif, melainkan harus diwujudkan dalam praksis sosial. Teori ekologi sosial Murray Bookchin (1982) menyatakan bahwa krisis lingkungan adalah hasil dari struktur sosial yang tidak adil. Islam Hijau dan Islam Biru menegaskan bahwa ketidakadilan sosial dan kerusakan ekologis adalah dua sisi dari satu koin yang sama. Maka, reformasi lingkungan harus beriringan dengan reformasi moral dan ekonomi.
Baca Juga: BRI Soasio Serahkan Mobil Ambulans untuk Pemda Haltim, Wujud Nyata Kepedulian ke Masyarakat
Dalam kerangka epistemologis, Islam mengajarkan bahwa ilmu lingkungan bukan sekadar sains, melainkan pengetahuan yang mengantarkan pada ma‘rifah—pengenalan terhadap Allah. Q.S. al-‘Alaq [96]: 1–2, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan,” menegaskan bahwa membaca realitas, termasuk alam, harus dilakukan dalam kesadaran teologis. Dengan demikian, ekologi Islam adalah epistemologi yang menyatukan ilmu dan iman.
Dalam literatur tafsir, Ibn ‘Āsyūr menyebut alam sebagai “makhluk rasional tanpa kata” (makhlūq nāṭiq bi ḥāl)—ia berbicara melalui keteraturannya (Ibn ‘Āsyūr, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr). Konsep ini sejalan dengan teori Gaia (Lovelock, 1979) yang memandang bumi sebagai sistem hidup yang saling terhubung. Islam Hijau dan Islam Biru melengkapi teori ini dengan dimensi spiritual: bumi tidak hanya hidup, tetapi juga berzikir kepada Tuhan (Q.S. al-Isrā’ [17]: 44).
Dalam konteks aksiologis, Islam Hijau mengandung nilai etika lingkungan: tanggung jawab, moderasi, dan keberlanjutan. Prinsip lā ḍarar wa lā ḍirār (tidak boleh menimbulkan bahaya) menjadi hukum moral terhadap aktivitas manusia yang berpotensi merusak alam (al-Nawawī, al-Majmū‘). Prinsip ini juga relevan terhadap industri modern yang menimbulkan polusi, deforestasi, dan pemanasan global.
Baca Juga: Hari Santri 2025: Wagub Sarbin Serukan Santri Melek Digital & Sains!
Islam Biru, secara aksiologis, menekankan etika pengelolaan sumber daya air yang adil. Dalam sejarah peradaban Islam, pengelolaan air dilakukan secara kolektif, bukan kapitalistik. Pada masa Andalusia, sistem qanāt dan irigasi berbasis komunitas menjadi contoh konkret penerapan etika Islam Biru (Dols, 1984). Nilai-nilai ini dapat menjadi model bagi kebijakan pengelolaan air modern yang berkelanjutan.
Dari perspektif hukum Islam, ekologi berkaitan dengan maqāṣid al-sharī‘ah, khususnya ḥifẓ al-nafs, ḥifẓ al-māl, dan ḥifẓ al-bi’ah (perlindungan lingkungan). Fazlun Khalid (2002) mengembangkan gagasan bahwa pelestarian lingkungan merupakan maqṣad baru yang inheren dalam keutuhan kehidupan manusia. Maka, Islam Hijau dan Islam Biru dapat dipahami sebagai aktualisasi maqāṣid ekologis.
Dalam konteks spiritual, sufisme memberikan dimensi mendalam terhadap ekoteologi. Jalāl al-Dīn Rūmī menyatakan: “Setiap atom di alam ini bertasbih kepada-Nya.” (Rūmī, Mathnawī VI: 2945). Kesadaran sufistik ini menuntun manusia untuk berinteraksi dengan alam dalam cinta dan hormat. Ekologi dalam sufisme bukanlah wacana moral, melainkan jalan menuju penyatuan dengan Tuhan melalui ciptaan-Nya.
Baca Juga: APBD 2026 Malut Fokus ke Rakyat: Pendidikan Gratis & Infrastruktur Jadi Prioritas!
Pandangan ontologis-sufistik ini diperkuat oleh Ibn ‘Arabī dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam, yang memandang alam sebagai cermin (mir’āt) dari realitas ilahi. Kerusakan lingkungan berarti merusak refleksi keilahian itu sendiri. Dalam kerangka Islam Hijau dan Biru, menjaga lingkungan sama dengan menjaga keindahan dan keteraturan ilahi di dunia.
Ekoteologi Islam juga menantang paradigma pembangunan modern yang berorientasi pada pertumbuhan tanpa batas. Q.S. al-A‘rāf [7]: 31 menegaskan: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Ayat ini menjadi prinsip dasar sustainability ethics dalam Islam. Moderasi (wasatiyyah) adalah fondasi moral bagi ekonomi hijau dan biru.
Dalam tataran praktis, penerapan Islam Hijau dan Islam Biru menuntut transformasi sosial—dari kesadaran individual menuju gerakan kolektif. Pendidikan lingkungan berbasis nilai-nilai Islam menjadi sarana strategis. Menurut teori aksiologis Max Scheler (1926), nilai tertinggi adalah nilai spiritual; maka, penyelamatan lingkungan harus dimulai dari revolusi kesadaran nilai manusia terhadap alam sebagai entitas spiritual.
Baca Juga: Rayakan HUT ke-14, NasDem Halut Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis & Bagikan Sembako!
Ekoteologi Islam Hijau dan Biru bukanlah sekadar narasi moral, tetapi paradigma teologis yang menegaskan bahwa keimanan sejati mencakup tanggung jawab ekologis. Rasulullah saw. bersabda: “Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah salah satu cabang iman” (HR. Bukhārī-Muslim). Malu terhadap Tuhan karena merusak ciptaan-Nya merupakan bentuk iman ekologis. Dengan demikian, Islam Hijau dan Islam Biru menjadi upaya mengembalikan tauhid ke dalam relasi ekologis—menyatukan Tuhan, manusia, dan alam dalam harmoni spiritual yang berkelanjutan.
Referensi
- Al-Nawawī. al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab.
- Al-Qurṭubī. al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān.
- Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātīḥ al-Ghayb.
- Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān.
- Dols, Michael W. (1984). The Classical Islamic View of the Environment. Cambridge University Press.
- Khalid, Fazlun M. (2002). Islam and the Environment. Islamic Foundation.
- Lovelock, James. (1979). Gaia: A New Look at Life on Earth. Oxford University Press.
- Nasr, Seyyed Hossein. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.
- Ozdemir, Ibrahim. (2003). Toward an Islamic Environmental Ethics. Ankara: Foundation for Science and Technology.
- Rūmī, Jalāl al-Dīn. Mathnawī al-Ma‘nawī.
- White Jr., Lynn. (1967). The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.
- Ibn ‘Āsyūr, Muḥammad al-Ṭāhir. al-Taḥrīr wa al-Tanwīr.
- Ibn ‘Arabī. Fuṣūṣ al-Ḥikam.
- Scheler, Max. (1926). Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values.
