Politik Di Tangan Rakyat; Dinamika Lama Atau Narasi Baru?
Oleh: Jefri A.S Rette Sekawael
Penggiat Demokrasi
Tulisan ini adalah bagian dari rangkaian tulisan sebelumnya, yang saya tulis dengan judul, Politik Sula, Potret Dinamika Pemilihan DPRD dan Dilema Demokrasi, yang dimuat dalam kolom opini Malutcenter.com pada Tanggal, 21 Desember 2023. Dalam tulisan tersebut, Saya berupaya semaksimal mungkin menggambarkan dinamika politik Sula, yang seolah-olah berada dalam siklus atau putaran yang sama, dari satu momentum ke momentum berikutnya. Entah itu partai politik, para caleg, para tim sukses, hingga sikap masyarakat sebagai pemilih. Demokrasi kita mengalami stagnan, berhenti dan bolak balik dalam ruang yang sempit, padahal sejatinya ruang cakupan domokrasi amat luas dan di penghunjung demokrasi, mestinya kesejahteraan yang harus dipetik sebagai buah dari proses demokrasi itu sendiri.
Satu hari sesudah terbitnya tulisan pertama, di sela-sela aktifitas, saya luangkan sedikit waktu untuk ikuti dan amati dialektika demokrasi Sula di lingkungan sekitar, tetangga rumah, kompleks, kampung. Saya juga sempat jalan ke pasar, nongkrong di kedai kopi, terminal, pangkalan ojek dan sebagian besar kerumunan orang. Aktifitas ini, awalnya, saya anggap biasa, tak memberi sesuatu keuntungan secara pribadi. Hari-hari terus berlalu, lama-lama semakin menggoda nalar dan menyetuh hati. Dua minggu setelahnya, hati dan pikiran rasa-rasanya tergelitik, memaksa raga menaruh respek pada sesuatu yang sebelumnya dianggap biasa menjadi penting. Hingga pada akhirnya, dengan segala keterbatasan, saya kembali menulis cuitan yang sama tentang demokrasi Sula.
Saya melihat, narasi politik Sula jelang pemilihan anggota DPRD Sula masi saja sama, sarat akan janji-janji politik. Bobotan isi materi kampanye dan issu yang di kemas tak bergeser jauh dari black cammpaign atau kampanye hitam, politik indentitas, money politics atau politik uang dll.
Hari-hari ini, hati kita diselimuti rasa bahagia, sebab sebentar lagi kita menyambut pesta demokrasi sebagai tempat untuk menaruh harapan, harapan tentang kesepakatan kesejahteraan bersama. Namun sejujurnya, rasa bahagia tersebut, hadir bersamaan dengan rasa cemas sehingga memaksa memori kita untuk sekedar mengingat-ingat kembali perjalanan demokrasi kita. Merenungkan atau merefleksikan kembali proses pemilihan DPRD Sula dari periode ke periode beserta kinerjanya. Setelah konteplasi itu dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah demokrasi dan politik semacam apa yang kita mau dan yang kita ingin?, demi untuk kepentingan kesejahteraan bersama.
Secara etimologi, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis. Polis berarti kota yang berstatus Negara (city state). Pengertian politik dapat ditafsir sebagai satu proses interaksi antara satu individu dan individu lainnya demi mencapai kebaikan bersama. Politik adalah cara orang yang hidup berkelompok membuat keputusan untuk kepentingan bersama.
Demokrasi sendiri berasal bahasa Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat, dan kratos berarti kekuasaan yang mutlak. Apabila digabungkan, maka secara harafiah, demokrasi adalah kekuasaan yang mutlak oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Pengertian politik dan demokrasi telah memberikan kita gambaran, bahwa sesungguhnya politik dan demokrasi itu adalah kesepakatan rakyat. Kesepakatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak, dan kesejahteraan ekonomi yang merata. Dan kesemuanya itu, ada ditangan rakyat. Rakyat Sula yang sepakati, Rakyat Sula yang inginkan, Rakyat Sula yang tentukan, bagaimana nasib mereka lima tahun ke depan. Kesepekatan-kesepakatan rakyat tersebut sepenuhnya dititipkan di pundak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Secara garis besar, tugas, fungsi dan peran DPRD bersandar terhadap tiga hal, diantaranya; legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi diwujudkan dalam bentuk peraturan daerah. Fungsi anggaran di wujudkan dalam bentuk membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama-sama pemerintah daerah. Sementara fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk mengontrol terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan APBD. Jadi dapat disimpulkan bahwa DPRD adalah wakil rakyat yang di beri amanah oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.
Jika melihat tugas, fungsi dan peran DPRD, dan lalu di kaitkan dengan realitas demokrasi Sula yang terjadi, mulai dari satu periode ke periode berikutnya, berpotensi melahirkan asumsi dan kesimpulan bahwa kesepakatan rakyat Sula, tentang kesejahteraan yang dibingkai dalam proses demokrasi dianggap gagal total. Dalam prosesnya, realisasi dan aktualisasi demokrasi di Sula, berbenturan dengan hakekat nilai demokrasi itu sendiri. Kesepakatan-kesepakatan politik rakyat yang diharapkan bisa terwujud melalui pemilihan wakil rakyat, justru di amputasi setelah atau pasca pemilihan.
Jika dugaan bukan dosa, maka setelah mencermati demokrasi, bisa diduga, mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat, seolah-olah hanya berpikir tentang diri sendiri. Setelah terpilih, mungkin saja ada kalkulasi-kalkulasi tentang berapa banyak dana yang telah di keluarkan kemarin dan butuh berapa lama waktu dalam mengembalikan modal tersebut. Mungkin saja yang dipertanyakan hanyalah berapa banyak pokir yang akan dikelola DPRD, ketimbang pusing mengusulkan ide dan konsep tentang kestabilan harga-harga sembako yang kian hari kian melonjak, harga komoditi kopra yang terus anjlok untuk disusun dalam rancangan peraturan daerah. Mugkin saja, hanya membayangkan berapa kali perjalanan dinas dan reses dalam setahun, ketimbang mendorong masuk program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti; akses kesehatan, pendidikan, teransportasi, UKM, pemberdayaan masyarat dll, dalam pembahasan anggaran APBD, bersama pemerintah daerah. Dan, mungkin saja, sebisa mungkin menabung, sebagai modal untuk dana pemilihan umum selanjutnya.
Muncul kemudian pertanyaan, ada apa dengan demokrasi kita? Apa yang salah?, dan siapa yang harus disalahkan?, mereka yang terpilih sebagai DPRD kah?, ataukah rakyat sebagai pemilih? Tentu tak etis, jika harus menghakimi, namun sangat rasional kalau harus ada yang bertaggungjawab.
Sejatinya, politik ada di tangan rakyat. Istilah “ringht to self determination” atau hak untuk menentukan nasib sendiri, harus dijadikan slogan dan spirit dalam memerangi cara-cara politik lama yang penuh intrik, siasat dan kebohongan publik dan digantikan dengan narasi baru yang lebih rasional dan edukatif. Hilangkan sentimen politik, politik adu domba, politik indentitas. Lalu, lahirkan narasi politik baru yang lebih kompetitif dan sarat akan pertarungan ide, gagasan, serta konsep. Disisi lain, masyarakat Sula tentu juga harus selektif betul dalam menentukan pilihannya. Memilih seseorang harus dengan dalil mengetahui rekam jejaknya, perestasinya, perilakunya. Mengetahui kadar intelektul, emosional, dan sipiritual seseorang adalah lebih baik, sebab di sana, di gedung DPRD Sula, bukanlah tempat untuk bersantai, tetapi sebagai rumah rakyat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Besar harapan, di tengah hegomoni demokrasi yang sakit, semoga narasi baru bisa tumbuh sebagai instrumen yang bisa merubah cara pandang masyarakat. Bisa melatarbelakangi pilihan masyarakat. Tentu, amanah rakyat harus di titipkan kepada mereka, orang-orang yang aktif bukan pasif, bukan bisu. Kepada orang-orang yang berkualitas serta bertanggungjawab dunia akhirat.
Semoga.