Politik Sula, Potret Dinamika Pemilihan DPRD dan Dilema Demokrasi
Oleh: Jefri A.S Rette Sekawael – Penggiat Politik
Wacana seputar demokrasi dan politik di penghujung tahun 2023 menjadi tren tersendiri di semua Provinsi dan Kabupaten/Kota, di seantero republik ini, termasuk di Kabupaten Kepulauan Sula.
Demokrasi dan Politik ramai diwacanakan oleh semua kalangan, baik politisi, praktisi, akademisi, mahasiswa, aktivis, sopir angkot, buruh, tani, nelayan dan media sosial.
Begitu eloknya Demokrasi dan Politik sehingga menjadi magnet tersendiri untuk memikat Publik dalam satu wacana yang penuh harapan akan perubahan di masa mendatang. Dinamika ini wajar, sebab Filosofi Demokrasi itu sendiri adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, kata Abraham Lincoln. Dimana harapan untuk keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan menjadi cita-cita bersama.
Masyarakat Kepulauan Sula, juga ramai memperbincangkan seputar wacana demokrasi dan politik, terutama terkait pemilihan anggota legislatif. Terlihat di pasar, terminal, pangkalan ojek, taman, warkop, bahkan di teras-teras rumah, semuanya pada sibuk dengan diskusi dan wacana politik. Para timses masing-masing caleg adalah orang-orang yang paling aktif, paling banyak menguras energi dan waktu untuk kemenangan kandidatnya. Potret dinamika ini, merupakan hal lumrah yang terjadi berulang kali saat pesta demokrasi tiba, seakan terpatri menjadi tradisi politik.
Secara substansi, puncak dari sistem demokrasi dan politik adalah pemilu, dimana masing-masing orang menentukan pilihannya. Tentu, pilihan-pilihan tersebut didasari dengan harapan agar mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat nanti adalah mereka-mereka yang bisa amanah dan mampu dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat. Namun dalam kenyataannya, kita seolah-olah hanya berada dalam siklus yang sama, proses yang sama, awal yang sama dan akhir yang sama. Tak ada perubahan yang berarti dari proses pemilihan anggota legislatif. Narasi utama calon anggota legislatif, timses dan partai politik dalam mengemas issu, sama seperti yang telah terjadi pada momentum pemilihan anggota legislatif sebelumnya, dimana sarat akan janji politik yang tak bisa dipertaggungjawabkan, bahkan sampai di akhir masa periode.
Saat proses pergantian terjadi, masyarakat jarang melihat dan merasakan dampak perubahan signifikan. Dan akhirnya, mengakibatkan sebagian besar masyarakat mulai merasa jenuh, menumbuhkan rasa pesimis, apatis dan dilema demokrasi yang tak berujung. Pada titik inilah, terjadi kesalahan penafsiran demokrasi dan politik.
Demokrasi dan politik bukan lagi dijadikan kiblat untuk mencapai kesejahteraan bersama, melainkan hanya sebagai mesin ATM yang aktif saat pemilihan anggota legislatif. Para caleg harus memiliki modal yang cukup serta koneksi elit yang kuat untuk berkompetisi, sementara pemilih sebagai konstetuen pasti punya standar mahar yang tinggi dalam memberikan pilihan.
Dalam proses …