Demokrasi Di Tengah Krisis Keteladanan
(Cuitan untuk Jefri dan Sapaan Kepada Aktivis Mahasiswa)
Oleh: Arman Buton
Alumni HMI Cabang Ternate
Dalam penulisan artikel ini, saya sedikit mengalami kesulitan, terutama soal dari mana harus memulainya. Setidaknya ada dua hal yang mengganjal. Pertama, mempertimbangkan suasana hati Jefri sebagai sahabat saya, jangan sampai tulisan ini dianggap tidak sopan dan dapat melukai hati, namun saya sependapat dengan pikiran Roky Gerung, kalau “pikiran itu tidak perlu disopan santunkan, yang perlu disopan santunkan adalah bahasa tubuh, kalau pikiran yang tidak dipertengkarkan atau mendapat kiritikan, itu berarti sama saja dengan orang yang sedang berdo’a dan jangan diganggu”. Dimikian, saya juga yakin, Jefri punya pendapat yang sama.
Yang kedua, terbesit dalam pikiran, kalau nanti tulisan ini melahirkan asumsi publik yang beragam, terutama di kalangan aktivis mahasiswa, semisal, tulisan ini hanyalah kepentingan semata atau alibi politik sekedar mengejar popularitas personal. Tetapi kemudian saya berkeyakinan kalau yang paling penting dari semua sudut pandang adalah dari sisi ilmu pengetahun, oleh karenanya saya mengaibaikan persepektif lain selain itu.
Artikel Jefri A Rette Sekawail bertajuk, “Politik Ditangan Rakyat; Dinamika Lama Atau Narasi baru” yang mempersoalkan dinamika dan dialektika politik Sula (terkhusus dalam pemelihan calon anggota DPRD Sula) dengan harapan bisa lahir narasi politik etik, disisa waktu dua minggu jelang pemilihan, merupakan bentuk keresahan hati yang dituangkan dalam bentuk konsep.
Sebenarnya ada beberapa artikel “demokrasi politik Sula” sebelumnya dalam dua bulan terakhir, termasuk artikel saya, “Rakyat, Caleg dan Sugesti Politik” yang sedikit jadi wacana oleh sebagian kecil kelompok mahasiswa dan aktivis, meskipun pada akhirnya, wacana ini mati terbunuh oleh derasnya arus politik pragmatisme. Kurang lebih bobotan isi semua artikel hampir sama, sama-sama mempersoalkan carut marut demokrasi politik Sula. Narasi demokrasi dalam artikel Jefri sendiri, bisa diterima sebagai satu fakta realitas politik yang terjadi.
Saya tidak mempersoalkan artikel Jefri dalam tafsir politis, yakni melihat latar belakangnya sebagai salah satu caleg DPRD Sula, yang bisa saja menggunakan moto atas “nama politik” semua cara bisa dipakai, termasuk salah satunya melalui artikel dimaksud. Namun lebih di atas segalanya, saya menggunakan analisis dari sudut pandang ilmu pengetahuan dalam tafsirannya.
Di sisi lain, saya harus jujur menyampaikan rasa hormat atas artikel Jefri, karena sesuai dengan fakta yang saya lihat dan bisa menjadi referensi bagi saya juga yang lain, namun patut untuk saya kritisi sebagai bentuk koreksi. Jefri sudah tepat memasukkan kerangka teoritik politik demokrasi dan dibandingkan dengan kondisi ril yang ada tetapi tidak secara detail menggambarkan literasi politik semacam apa yang menjadi narasi baru. Misalnya, dalam hal pilihan rakyat, memang sudah benar kalau pilihan seseorang harus didasari dengan mengetahui rekam jejak orang yang akan dipilih, namun Jefri tidak memberikan penjelasan bagaimana caranya sehingga rakyat dapat tahu atau mengetahui rekam jejak seseorang? Bisa mengetahui baik atau buruknya seseorang yang akan dipilih— informasi seperti demikin akan mudah jika saja Partai Politik merilis biografi para calegnya, sayangnya tidak. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh mungkin dengan jalan literasi politik yang dilakukan oleh kelompok intelektual, lalu kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui edukasi politik yang baik. Tetapi saya bisa maklumi, mungkin saja Jefri punya pengetahun jika literasi memang tak butuh sedikit waktu, sementara hajatan di depan mata, lagi pula harus ada orang dan kelompok akademik sebagai peggerak literatur polotik demokrasi.
Dalam hal lain, Jefri sama sekali tidak menyentil soal peran aktivis mahasiswa dalam dimensi demokrasi politik Sula. Padahal harapan perubahan itu, tidak hanya kesadaran rakyat Sula semata, melainkan aktivis mahasiswa sebagai pelopor perubahan, yang tadi saya sebut sebagai kelempok yang menggerakkan literatur politik demokrasi. Namun saya juga pahami, mungkin saja, sebagai politisi yang ikut berkompetisi, tidak mungkin Jefri mengkritisi keberadaan aktivis mahasiswa ditegah situasi demokrasi yang buruk, karena asumsi yang demikian pasti dianggap politis.
Setidaknya saya agak tertarik untuk memperbincangkan dikotomi dan alasan-alasan mengapa pentingnya ide-ide sehat melakukan manuver dalam politik dan demokrasi.
Dikotomi ilmu pengetahun kerap kali diperbincangkan dan tak berkesudahan. Dikampus para mahasiswa begitu sempurna memaparkan apa itu demokrasi, di dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, OKP dan sebagainya, aktivis begitu teoritik dan sistematik dalam menjabarkan hakekat demokrasi beserta nilai-nilainya. Disatu sisi pengetahun akademik hanya dapat memperdalam ilmu pengetahuan bila terus berada di ruang-ruang diskusi dan belakang meja, namun kering di ranah praktis— kenyataan ini yang bagi saya adalah sesuatu yang perlu disampaikan sebagai pesan kalau aktivis mahasiswa pikirannya bukan hanya subur dalam ruang ilmiah tapi juga subur dalam kehidupan praktis.
Ilmu pengetahun wajib diaktualisasikan dalam ranah praktis, sihingga apa yang menjadi harapan dan cita-cita bersama bisa terwujud. Bukankah perubahan itu lahir dari gagasan para kaum intelektual?. Kita dapat menelusuri jejak para intelektual yang berupaya melakukan intervensi kekuasaan sebagai model pembelajaran, misalnya Kautsky mengambil jalur parlementer, Indonesia kita kenal Sahrir, Hatta, Soekarno, Natsir dan di Kuba Fedel Castro, di Iran ada Ali Sariati, Imam Komeni, ada juga Berta Caciles di Honduras dan masih banyak lagi.
Saya pikir, aktivis mahasiswa Sula punya referensi yang sama, pasti tahu perjuangan para intelektual dalam persepektif sejarah, bahkan melebihi saya. Kita tarik mundur, rekam jejak perjuangan intektual Sula pada tahun 1959, ada Kasim Marua P, Halim Soamole dan kawan-kawan, melalui oraganisasi yang namanya Himpunan Mahasiswa Sula (HPMS) mereka lahirkan ide-ide besar untuk hai do ya fai (demi negri). Perjuagan yang menuai hasil pemekaran daerah pada tahun 2003 silam dengan visi mensejahterakan rakyat Sula dan mencerdaskan generasinya. Bukankah semua itu cukup memberi kita gambaran kalau intervensi kaum intelektual bisa berdampak perubahan, bisa mewujudkan cita-cita demokrasi.
Kita, generasi kita, memang seolah-olah mengalami krisis keteladanan, tak ada sosok tokoh yang bisa dijadikan panutan. Namun ada satu hal yang perlu kita sadari bahwa kita punya energi sejarah yang dilahirkan oleh orang-orang hebat, setidaknya menjadi contoh untuk diikuti, menjadi spirit dan kekuatan, sehingga kita
berani mengatakan tidak kepada sesuatu yang kita anggap salah dan iya kepada yang kita anggap benar.
M Natsir, dalam buku, Kapita Selekta mengatakan, “maju mundurnya satu negara, satu bangsa, satu daerah, bukan dilihat dari warna kulit, bukan dilihat dari garis keturunan, bukan pula menteri yang berduit atau DPR yang banyak, tapi dilihat dari sejauh mana generasi mudanya (aktivis mahasiswa) memiliki kapasitas intelektual, integritas sipritual dan pembangunan moral.
Atas dasar itulah saya merasa penting untuk menyapa kawan-kawan aktivis mahasiswa Sula, bahwa sejarah peradaban manusia dibangun diatas tapal ilmu pengetahuan dan cendekia (kaum pemikir) sebagai pelopor.
Kita tidak mungkin duduk manis melihat dinamika demokrasi di pimpong oleh kepentingan para caleg-caleg yang tidak berkompoten, yang jika terpilih hanya menyandera demokrasi dalam ruang kepentingan peribadi. Kita tidak mungkin hanya menatap mereka yang berkompoten, berkompetisi sendiri tanpa koneksi elit, tanpa modal rupiah, sebab yang demikin dipastikan kepentingan rakyat prematur (gugur sebelum sebelum waktunya).
Hari ini, kaum intelektual mungkin tidak punya cukup waktu dalam melakukan literasi politik sebagai satu metode untuk mengetahui rekam jejak para caleg, tetapi setidaknya masi punya gagasan untuk disampaikan kepada orang tua kita di desa Fala, kakak dan adik kita di desa Waitina, kerabat, sahabat dan keluarga kita di Sanana untuk dapat selektif betul dalam menentukan pilihan. Penjajakan ini memang penting dilakukan sebagai ketegasan bahwa yang kami mau adalah memilih orang-orang yang berintegritas dan mambu memberi warna baru dalam demokrasi kita.
Akhirnya Saya berharap besok atau lusa ada caleg yang juga mau menuangkan gagasan kritis melalui konsep dan tulisan, biar kita masyarakat Sula punya gambaran seberapa besar kapasitasnya sebagai seorang calon pemimpin, karena sejatinya seorang pemimpin tidak hanya lihai beretorika tetapi juga harus bisa menggores tinta di atas kertas.
Semoga***
Editor : ID