Sagu Indonesia
Oleh : Helmi Hi.Yusuf
Pengiat Literasi di Maluku Utara
“Jangan mati di kampung sagu”.
“Jangan sampai kita nanti baru menyadari bahwa sagu ini dapat menyelamatkan kita, dan ternyata sudah habis karena perusakan hutan”.
Prof. Hasjim Bintoro (Ahli Sagu IPB)
Pernyataan di atas membutuhkan refleksi mendalam untuk memaknai anugerah tuhan kepada umat manusia berupa tumbuhan sagu di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara lain yang memiliki keterbatasan pada kekayaan pangan lokal, maka tidak dengan Indonesia. Negeri ini mempunyai sumber alam pangan lokal yang jika dikelola dengan lestari maka dapat menghidupi ekosistem disekitarnya. Salah satunya sagu, tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di bumi Indonesia. Sagu memiliki potensi menjadi pangan lokal untuk kebutuhan hari ini dan masa depan. Karena tumbuhan ini sudah terbukti mampu bertahan dalam perubahan iklim dan melintasi zaman.
=============
Sagu (Metroxylon sp) memiliki kandungan karbohidrat yang penting kedudukannya sebagai bahan makanan sesudah padi, jagung, dan umbi-umbian. Karbohidrat sagu sangat memadai dan mempunyai kemampuan substitusi pati sagu dalam industri pangan. Sagu juga sangat berpotensi untuk diolah menjadi bioetanol. Tanaman sagu mampu menjaga lingkungan dan dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan (Hariyanti, 2011) dan (Hayati, Purwanto & Kadir 2014). Dengan demikian sagu di Indonesia memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan, pengendalian lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan energi nasional.
Sagu merupakan salah satu makanan khas Indonesia. Tanaman ini menyimpan pati sebagai cadangan pangan di bagian batang. Manfaat pati sagu selama ini digunakan sebagai makanan pokok bagi masyarakat Sulawesi, Papua, Maluku, dan Maluku Utara. Sagu mampu tumbu di daerah tersebut karena beriklim tropis. Pati sagu juga dimanfaatkan sebagai makanan kudapan (cemilan) seperti bagea, ongol-ongol, kue bangkit dan sebagainya. Produk lain sebagai campuran untuk soto yang dibuat dalam bentuk soun (Haryanto & Pangloli,1992).
Penamaan sagu dibeberapa daerah begitu beragam. Di Sulawesi Tenggara, masyarakatnya menyebutnya Tuni, Roe, atau Molat. Di Seram dan Ambon menamakannya Lapia. Orang Jawa menyebutnya Kersulu atau Ambulung. Sedangkan orang Sunda menamakannya Kirai (Purwanto, 2022). Peruntukan sagu menurut Lestari (dalam beritapapua.id, 2022), di Papua berbeda dengan daerah lain karena ada jenis sagu untuk prosesi adat, kepala suku, dan konsumsi sehari-hari bagi keluarga.
Jika merujuk pada perkembangan sejarah tentang pola asupan makanan para leluhur, mereka mengkonsumsi berbagai makanan mengandung karbohidrat dari pangan lokal seperti jagung, ubi jalar, sukun, ubi kayu dan sagu. Aneka makanan ini merupakan sumber pangan penting bagi mereka. Selain itu, Sagu sebagai salah satu sumber pangan tersebut telah menjadi perhatian masyarakat Eropa sejak Marco Polo menginjakkan kakinya di Sumatera ratusan tahun lalu (Ade, 2022). Menurut Ave (dalam Arif, 2021), sagu telah menjadi sumber pangan tertua yang dikonsumsi manusia. Georg Everhard Rumpf dalam maha karyanya Herbarium Amboinense terbitan tahun 1741 (dalam Ade, 2022) mengambarkan bahwa penduduk Ambon mempunyai kegiatan penting membuat terigu dari rumbia (sagu). Masyarakat Ambon menggunakan tepung sagu untuk membuat papeda dan sagu lempeng. Sedangkan dalam catatan The Malay Archipelago, Wallace (2015) menjelaskan dirinya berada di daerah penghasil sagu terbesar di Seram Timur dan memiliki kesempatan untuk melihat seluruh proses pembuatan sagu. Maka dari itu sagu telah menjadi salah satu pangan lokal yang dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia sudah sejak ratusan tahun lamanya.
Namun pada realitasnya sagu masih belum mendapatkan tempat dalam tatakelola diversifikasi pangan nasional. Padahal sagu memiliki potensi yang menjanjikan di masa depan. Lalu kenapa hal ini belum masuk dalam agenda pemerintah untuk mengembangkannya. Inilah yang menjadi tujuan dalam penulisan ini dengan membahas berbagai hal tentang sagu di Indonesia.
Sagu, Beras, dan Deversifikasi Pangan
Kawasan Asia merupakan pengkonsumsi beras yang tinggi. Indonesia khususnya jumlah kebutuhan beras terus meningkat. Bahkan setiap tahun pemerintah melalui Bulog, Kementerian Pendangan, Kementerian Pertanian dan stakeholder terkait mengambil kebijakan impor beras. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data impor beras ke Indonesia mencapai 1,59 juta ton selama periode Januari-Agustus 2023 (Muhamad, 2023). Kebijakan impor beras selalu membuat petani ‘gigit jari’ karena harga gabah ikut turun dan mereka semakin menderita.
Data BPS terkait dengan konsumsi beras dalam negeri berdasarkan Susenas pada September 2022 ditemukan 98,35% rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras. Rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia, baik lokal, kualitas unggul, maupun impor, tercatat mencapai 6,81 kg per bulan. Di mana, masyarakat perkotaan mengonsumsi 6,37 kg per bulan, sedangkan masyarakat pedesaan lebih banyak lagi, yaitu 7,41 kg per bulan (Emeria, 2023). Sementara itu, produksi beras Indonesia tiga tahun terakhir dapat digolongkan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam data BPS juga dijelaskan bahwa produksi beras sebanyak 31,31 juta ton (2019), 31,5 juta ton (2020), dan 31,36 juta ton (2021). Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa dan konsumsi beras 97,36 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 26,774 juta ton setiap tahun. Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun (Sutawi, 2023).
Ketahanan pangan setiap negara akhir-akhir menjadi masalah. Akibat dari konstalasi global yang tidak menentu. Setiap negara diperhadapkan dengan ancaman krisis pangan. World Food Programme (WFP) mencatat rekor 349 juta orang di 79 negara menghadapi krisis pangan pada 2022, meningkat dari 287 juta pada 2021 dan 200 juta pada pra-pandemi Covid-19. Lebih dari 900.000 orang di seluruh dunia berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi kelaparan. Angka ini sepuluh kali lebih banyak dibanding lima tahun lalu (Sutawi, 2023).
Perang Rusia-Ukraina sudah harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk serius memikirkan keamanan pangan Indonesia. Dampak perang ini meluas ke mana-mana. Harga energi hingga pangan pun naik. Terutama tepung dari gandum yang naik siginifikan. Sehingga harga produk turunannya juga meroket. Seperti mie instan dan sebagainya. Selain itu, perubahan iklim yang tidak menentu ikut menjadi faktor yang menganggu ketersedian pangan global. Ditambah dengan pembangunan yang masif mengakibatkan lahan pertanian ikut tergerus. Sementara WFP menyebutkan kombinasi faktor konflik, guncangan ekonomi, iklim ekstrem, dan melonjaknya harga pupuk akan menciptakan krisis pangan dengan proporsi yang lebih besar pada beberapa tahun mendatang (Sutawi, 2023). Dengan peta ancaman di atas maka pemerintah sudah harus mengambil kebijakan terkait dengan tatakelola pangan lokal. Agar tidak masuk dalam jurang krisis pangan. Seperti yang terjadi negara-negara Afrika dan Timur Tengah
Potret kebutuhan beras yang sangat tinggi di Indonesia membuat negeri ini rentan mengalami krisis pangan. Jika terjadi gangguan eksternal seperti di atas, maka ancaman ini sudah di depan mata. Berita tentang gagal panen beras akibat terserang hama dan musim hujan sudah menjadi headline di media masa. Pada titik ini perlu digencarkan upaya deversifikasi pangan yang selama ini jalan ditempat. Dewi dan Ginting (2012) menjelaskan bahwa paradigma kebijakan pangan yang diterapkan di Indonesia harus berubah dari ketahanan pangan menjadi kemandirian pangan agar Indonesia tidak tergantung pada negara lain. Salah satu kebijakan yang sesuai untuk diterapkan dalam mencapai kemandirian pangan dan mengantisipasi krisis pangan adalah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan suatu proses penganekaragaman pangan atau upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.
Pada tataran kebijakan, pemerintah memiliki cukup banyak program dalam deversifikasi pangan dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi beras. Upaya ini dilakukan melalui Peraturan Presiden (PerPres) No 22 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Bahan Baku Lokal. Akan tetapi yang terjadi adalah pangan lokal Indonesia belum hadir di dapur-dapur rumah warga. Salah satu kendala pengembangan pangan lokal menurut Dewi dan Ginting (2012) adalah belum dikembangkan produk turunan yang mudah diterima dan dijangkau masyarakat.
Indonesia kini berada pada posisi ketergantung komoditas pangan dari negara lain. Contohnya gandum. Jumlah kebutuhan tepung dari gandum terus meningkat selama lima tahun terkahir. Yang notabeno tidak bisa tumbuh di tanah Indonesia. Sehingga munculnya rantai pasokan pangan yang membuat posisi Indonesia sangat rentan ketika terjadi gangguan produksi gandum dari Australia dan Kanada. Dua negara ini merupakan pengimpor gandum terbesar ke Indonesia. Datanya selama 2012-2020, masing-masing mencapai 29,24 juta ton dan 15,48 juta ton (Sutawi, 2023).
Dengan melihat data di atas, maka pemerintah perlu serius melakukan deversifikasi pangan lokal. Langkah ini dapat mewujudkan mimpi Indonesia menuju kedaulatan dan kemandirian pangan. Salah satu pangan lokal yang bisa jadikan pilihan dalam upaya deversifikasi adalah sagu sebagai bahan pangan fungsional. Banyak studi telah menunjukkan bahwa sagu memiliki kelebihan dan manfaat bagi ketahanan pangan dan kesehatan pengkonsumsinya. Jika kita melihat kebijakan hari ini tentang keamanan pangan nasional, maka sagu belum mendapatkan tempat dalam pengembangannya. Kebijakan pemerintah tentang Food Estate juga belum menampakkan hasilnya. Terutama mengarustutamakan sagu sebagai salah satu jenis tanaman yang dikembangkan. Walaupun Pemerintah mendorong penanaman sagu dalam program tersebut di Papua. Akan tetapi hasilnya masih belum tersajikan. Hanya sebagai “lip service” dalam kebijakan Food Estate di tanah Papua.
Bintoro (Sepuh, 2022), salah satu ahli sagu dari Institut Pertanian Bogor menjelaskan sagu menjadi salah satu tanaman yang tepat untuk dikembangkan secara berkelanjutan. Karena tidak merusak vegetasi dan tanpa harus merusak hutan. Sagu memiliki beberapa keunggulan baik secara kegunaan bahan pangan maupun dalam mendukung tercapainya keseimbangan alam.
Potensi bahan sagu di masa depan sangat besar dalam pengoptimalan ketahanan pangan masyarakat. Dalam kondisi perubahan iklim dan keterbatasan sumber daya alam, sagu dapat menjadi alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sebagai sumber pangan. Luas tanaman sagu, baik yang sudah budidaya maupun yang masih berupa hamparan hutan masih sangat beragam datanya. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2019), pada tahun 2018 luas areal sagu mencapai 311.954 hektar yang didominasi oleh perkebunan rakyat (PR) seluas 299.366 hektar atau 95,96 persen terhadap total luas areal sagu Indonesia dan perkebunan besar swasta (PBS) seluas 12.588 hektar atau 4,04 persen. Sedangkan sebaran sagu di Indonesia dapat diidentifikasi di empat provinsi yang mempunyai populasi tanaman sagu terluas di Indonesia. Provinsi Aceh, Riau, Kalimantan Selatan, dan Papua. Provinsi Papua merupakan wilayah dengan luas tanaman sagu terluas di Indonesia yaitu seluas 155.943 hektar.
Maka empat provinsi yang merupakan daerah penghasil sagu terbesar di Indonesia yaitu Provinsi Riau, Papua, Maluku dan Kalimantan Selatan dengan total kontribusi sebesar 96,28% terhadap total produksi rata-rata sagu Indonesia pada tahun 2018. Riau merupakan provinsi penghasil sagu terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 80,99 persen dari total produksi sagu di Indonesia, disusul oleh provinsi Papua, Maluku dan Kalimantan Selatan dengan kontribusi masing-masing sebesar 12,35 persen, 2,02 persen, 0,93 persen hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).
Hasil produksi sagu dalam negeri juga diekspor ke dunia internasional. Berdasarkan wujudnya, ekspor sagu dibedakan dalam 2 (dua) yaitu wujud primer baik berupa sari sagu serta dalam wujud manufaktur yang berupa tepung atau pati sagu. Nilai ekspor sagu Indonesia cenderung mengalami fluktuasi selama Tahun 2014-2018. Akan tetapi ekspor sagu tahun 2018 merupakan yang tertinggi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019). Sagu juga memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan. Tepung sagu dapat dimanfaatkan dan digunakan sebagai bahan utama maupun sebagai bahan tambahan dalam berbagai jenis industri, seperti industri pangan, industri makanan ternak, industri kertas, industri perekat, industri kosmetika, industri kimia dan industri energi (Ernawati, Lakare, & Diansari, 2018).
Walaupun sagu telah menghasilkan devisa melalui ekspor, namun secara umum produksinya masih sangat rendah. Tatakelola sagu masih berbasis hutan sagu alami yang belum terbudidaya dengan pendekatan teknologi pertanian. Jika ingin meningkatkan produksi sagu, maka pemerintah melalui stakeholder terkait dapat mendorong pola pengusahaan sagu diarahkan menjadi perkebunan sagu. Sehingga diperoleh produktivitas sesuai potensi secara berkelanjutan. Maka dari itu, dibutuhkan kebijakan yang serius dari negara dengan melibatkan masyarakat dan pelaku usaha dalam pemberdayaan produsen sagu yang mengarah pada penerapan cara-cara yang baik dalam produksi sagu, pemanfaatan dan pemasarannya. Guna mencapai pemanfaatan sagu yang optimal diperlukan pengembangan kapasitas sumberdaya manusia untuk mendukung produksi sagu, pasca panen, ekstraksi pati sagu, pengemasan, pemasaran dan pengembangan skill kewirausahaan.
Sementara itu pengelolaan sagu di Indonesia menghadapi berbagai kendala. Santoso (2017) dalam studinya mengemukakan beberapa hambatan tatakelola sagu yang terdiri dari: kurangnya perhatian pemerintah, terbatasnya pasar bagi pangan sagu dan produk olahannya, pemanfaatan teknologi pengolahan sagu di tingkat lokal masih sederhana, kurangnya investasi pemerintah dan swasta terhadap SDA sagu, beratnya persaingan pangan sagu terhadap sumber pangan lainnya, dan hutan/medan sagu sulit dijangkau. Maka dari itu dibutuhkan political will dari negara untuk mengelola sagu agar menjadi pangan lokal berkualitas bagi Indonesia.
Sagu, Ekonomi, Lingkungan
Prospek pengembangan sagu dari sisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sangatlah menjanjikan. Sagu merupakan bahan baku yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, seperti pembuatan tepung sagu, sagu mutiara, dan minuman sagu. Dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap produk-produk sagu, peluang usaha bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah dalam industri sagu semakin terbuka lebar.
Dari sisi pembiayaan, Pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dapat diakses oleh pelaku sektor pertanian dengan bunga yang hanya sebesar 3 persen hingga akhir tahun 2022. Selain itu, plafon kredit KUR pada tahun 2022 juga ditingkatkan hingga Rp. 373,17 triliun dan plafon KUR Mikro (tanpa agunan tambahan) yang sebelumnya di atas Rp10 juta hingga Rp. 50 juta, ditingkatkan menjadi di atas Rp10 juta hingga Rp. 100 juta (Kemenkeu, 2021). Akan tetapi belum ada kebijakan yang secara spesifik mengenai pengalokasian modal pinjaman bagi pelaku usaha yang mengelola sagu. Kebijakan ini penting karena salah satu kendala yang dihadapi oleh pelaku usaha yang brhubungan dengan sagu adalah permodalan.
Pemerintah dapat melahirkan model kebijakan tatakelola sagu berbasiskan data potensi dan produksi sagu di daerah. Terutama daerah yang memiliki areal lahan sagu yang luas. Selanjutnya pemerintah merumuskan program deversifikasi sagu dari pembinaan UMKM hingga pemberian akses modal dan pembukaan pasar. Dengan demikian diharapkan pemanfaatan sagu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi baru ditengah masyarakat.
Tidak hanya itu, melihat pasar ekspor sagu di atas, maka pelaku usaha di bidang sagu dapat diarahkan untuk mengembangkan produknya sesuai dengan kebutuhan pasar global. Sehingga pelaku usaha dapat berkembang dan mampu membuka lapangan usaha di sekitarnya. Tidak hanya itu, semakin banyak industri yang memproduksi bahan makanan dari sagu, maka akan memberikan peluang kepada masyarakat untuk tertarik mengkonsumsi sagu.
Dalam mendorong pemanfaatan sagu sebagai penyedia bahan pangan lokal, pengelolaan sagu sebagai sumber daya alam secara lestari dan penciptaan lapangan kerja maka perlu dibuat suatu model percontohan pengelolaan hutan sagu menjadi kebun sagu dan dilengkapi dengan unit pengolahannya baik untuk menghasilkan pati sagu atau bahkan sampai ke produk hilirnya. Dengan adanya percontohan ini nantinya dapat dijadikan model yang secara spesifik dapat diterapkan di daerah penghasil sagu. Bentuk model pengelolaan sagu yang sudah berjalan dengan baik yang menghasilkan pati sagu adalah berdirinya kilang sagu di Selat Panjang Provinsi Riau (Hariyanto, 2011).
Sagu dan pelestarian lingkungan memiliki keeratan. Di beberapa tempat sumber air berbentuk pancuran ditemukan pohon sagu yang tumbuh disekitarnya. Meski fakta ini belum dapat dijelaskan secara ilmiah oleh para ahli namun fenomena tersebut dapat memberi gambaran secara faktual bahwa tanaman sagu dapat menjaga tata air di Kawasan tersebut. Peran sagu sebagai menjaga tata air telah di prediksi Stanton (dalam Harianto, 2011) yang menjelaskan bahwa tanaman sagu dapat menjaga tata air. Ditambah dengan studi dari Sitaniapesy (dalam Harianto, 2011) yang menjelaskan bahwa di dalam tanah perakaran tanaman sagu akan menyerap air dan haran mineral.
Disamping itu dalam menghadapi perubahan iklim global dimana terjadi pergeseran musim yang ekstrim tanaman. Sagu relatif lebih tahan dibanding tanaman musiman lainnya seperti jagung atau padi. Ketika perubahan iklim ekstrim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan maka tanaman penghasil karbohidrat dari biji-bijian sangat rentan. Tidak demikian dengan sagu yang relatif aman ketika terjadi kekeringan maupun banjir. Karena sagu memiliki akar tertancap ke dalam dan mempunyai cadangan makanan dan air yang memadai (Harianto, 2011).
Salah Pandang tentang Sagu dan Literasi Pangan Lokal
Akibat dari hegemoni makanan siap saji dan berbahan beras, sagu akhir-akhir ini mendapatkan persepsi yang salah. Di tengah-tengah masyarakat terjadi misinformasi tentang sagu. Sebagian orang menganggap bahwa mengkonsumsi sagu adalah masyarakat kelas 2.
Sebagaimana hasil kajian dari Sialana (2007) mengungkapkan bahwa ada kesan di masyarakat yang mengkonsumsi karbohidrat selain beras adalah inferior, kelas 2 sehingga memberi pencitraan yang rendah. Padahal dengan makan sagu secara teratur badan menjadi sehat, kuat dan lingkungan lestari. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dewi dan Ginting (2012) bahwa masyarakat beranggapan hanya beras makanan pokok mereka. Untuk merubah persepsi dengan memasyaraktkan pangan lokal maka salah satu cara adalah memberikan insentif bagi perusahaan atau industri pangan yang berbahan dasar pangan lokal.
Ditinjau dari produktivitasnya, pohon sagu memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil karbohidrat lainnya, seperti ubi jalar, jagung, padi dan ubi kayu. Kandungan karbohidrat tepung sagu relatif lebih tinggi yaitu sebesar 381 per 100 gram (Ernawati, Lakare, & Diansari, 2018). Sehingga sagu dapat menjadi menu lain untuk memenuhi asupan karbohidrat selain beras. Sagu yang mempunyai kelebihan pada produktivitas kabohidrat yang tinggi dan sifatnya bebas glutein juga belum diimbangi dengan konsumsi masyarakat terhadap sagu (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).
Tamanan sagu juga memiliki keunggulan yaitu hanya cukup ditanam sekali dan memasuki usia 12 tahun sudah dapat dipanen secara terus menerus tanpa perlu membuka lahan untuk areal tanam baru. Dibandingkan dengan jenis pangan lain, sagu tidak perlu pupuk, pestisida dan upaya lain pada seperti di pertanian modern. Jika suga masuk dalam prioritas pengembangan pangan lokal dalam bentuk deversifikasi yang kongkrit maka Indonesia mengalami surplus karbohidrat (Astuti, 2008).
Pada kondisi ini dibutuhkan upaya bersama untuk menyebarluaskan manfaat dan nilai gizi yang ada pada makanan berbahan sagu. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong minat masyarakat dalam mengkonsumsi sagu sebagai pangan alternatif adalah dengan melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai manfaat dan nilai gizi yang terkandung dalamnya. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye media sosial, seminar, atau workshop yang melibatkan para ahli gizi dan kesehatan. Pemerintah juga dapat memberikan insentif atau subsidi kepada produsen sagu, mendorong peningkatan produksi sagu, dan memperbaiki infrastruktur dan teknologi yang digunakan dalam proses produksi sagu. Dengan adanya upaya ini, diharapkan masyarakat akan semakin tertarik untuk mengkonsumsi sagu sebagai alternatif pangan yang sehat dan bergizi. (*)