AMBERTO DAN PERCAKAPAN DI PERAPIAN
Cerpen
Oleh: Cecep Ind
Cecep Ind, lahir dan besar di Kota Tidore Kepulauan. Suka membaca karya-karya fiksi.
AMBERTO tiba di rumahnya saat hari sudah malam. Tak biasanya. Ia keluar kota selama seminggu dan pulang bersama seorang teman yang usianya terpaut jauh dengannya. Ketika ditanya ibunya, katanya teman lama, sejak ia masih hidup di kampung. Amberto biasanya hanya tiga sampai empat hari pergi meninggalkan rumah. Hari berikutnya pasti ia sudah menikmati secangkir espresso di perapian belakang rumahnya.
Orang-orang yang mengenalnya tahu kalau ia sedang melakukan perjalanan bisnis. Mumpung Amberto sedang bekerja di perusahaan properti, sehingga anggapan orang memang demikian. Ia selalu mengatakan “iya, ada proyek di Kota Solo, hitung-hitung sekalian liburan..” Amberto menimpali macam-macam pertanyaan dengan jawaban yang hampir-hampir sama.
Menurutnya, jawaban paling masuk akal di dunia sekarang ini adalah pergi bekerja. Jadi buruh. Cari duit. Di dunia yang matahari tak bisa berlama-lama menampakkan dirinya ini, jadi buruh adalah hal terbaik. Seseorang, sesiapa saja itu, mungkin akan merasa sangat berharga dimata orang lain jika sehari-hari berangkat kerja.
Amberto kadangkala heran melihat kerabatnya, teman-temannya dan mereka yang menghabiskan waktu memungut kekayaan sedikit demi sedikit. Siang malam. Siang kerja, malam kerja. Seolah kekayaan itu barang paling berharga yang tak bisa diabaikan. Amberto kadangkala ingin menjauh. Pergi jauh dari tempat dia berada, keluar dari kota yang ia tinggali selama lima belas tahun lamanya itu.
Suatu ketika, Amberto mendapat telpon dari si punya perusahaan.
“Dimana kau, Ber?” selalu tanpa ucapan selamat pagi, siang atau sore. Dan malam. Kebiasaan sang majikan setiap kali menelponnya.