Opini

Dari Ahok hingga Hendra Labada: Sejarah Kelam Penistaan Agama di Indonesia

Kritisi  Dugaan Penistaan Agama Yang Melibatkan Oknum Anggota Polres Halmahera Utara”
Oleh: M. Kadafik Sainur SH

Kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan oknum anggota Polres Halmahera Utara pada September 2025 membuka kembali diskusi mendalam tentang kompleksitas hubungan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan nilai-nilai keagamaan dalam sistem hukum Indonesia. Lebih dari sekadar peristiwa hukum biasa, kasus ini mencerminkan pergulatan panjang bangsa Indonesia dalam mengelola keberagaman agama, suku, dan budaya dalam satu payung negara kesatuan.

Ketika seorang oknum anggota kepolisian mengunggah konten yang dianggap menistakan agama Islam di platform media sosial Facebook, hal ini tidak hanya memicu reaksi keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Halmahera Utara, tetapi juga menguji ketahanan sistem konstitusional Indonesia dalam menyeimbangkan jaminan kebebasan beragama dengan tanggung jawab negara melindungi keharmonisan sosial. Terlebih lagi, keterlibatan oknum aparat penegak hukum menambah dimensi etika profesi dan integritas institusi yang tidak dapat diabaikan.

Baca Juga: Nazlatan Ukhra Kasuba Serap Aspirasi Warga Simau: Jalan Rusak & Internet Jadi Keluhan Utama

Sejarah Nusantara mencatat bahwa persoalan penistaan agama bukanlah fenomena baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, interaksi antarumat beragama telah mengalami pasang surut, mulai dari periode perdagangan internasional yang membawa masuk berbagai agama, masa kolonialisme yang menggunakan politik devide et impera berbasis identitas keagamaan, hingga periode pasca-kemerdekaan yang terus bergulat dengan isu pluralisme agama.

Penistaan agama dalam sistem hukum Indonesia mengalami evolusi yang panjang. Undang- undang penistaan agama ini lahir dalam situasi paradoksal. Di satu sisi, ia dimaksudkan untuk melindungi kerukunan beragama, tetapi di sisi lain, ia juga menjadi instrumen kontrol sosial- politik yang memungkinkan penguasa untuk membatasi kebebasan berekspresi atas nama stabilitas. Sejarah mencatat bahwa pasal penistaan agama seringkali digunakan secara selektif, tergantung pada kepentingan politik yang berkuasa pada suatu masa.

Baca Juga: Kapasitas Internet Malut 500.000 Mbps, Diskominfosan: Sofifi Tak Lagi Alami Internet Lelet

Sepanjang sejarah Indonesia, terdapat beberapa kasus penistaan agama yang menjadi landmark dalam perkembangan hukum dan masyarakat. Kasus Arswendo Atmowiloto tahun 1990 dengan polling tokoh yang memasukkan Nabi Muhammad dalam daftar, kasus Lia Eden dengan aliran Salamullah, hingga kasus Ahok tahun 2016-2017 yang mengguncang stabilitas politik nasional.

Setiap kasus tersebut tidak hanya menguji sistem hukum, tetapi juga mencerminkan perubahan dinamika sosial masyarakat.

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan jaminan yang kuat terhadap kebebasan beragama melalui beberapa pasal fundamental. Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa,” sementara ayat (2) menjamin bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Lebih lanjut,  Pasal 28E ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,” dan ayat (2) yang menjamin “kebebasan meyakini kepercayaan.” Pasal 28I ayat (1) bahkan menempatkan kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Baca Juga: 177 PPPK Tahap II Halmahera Utara Segera Terima SK Pengangkatan

Namun, jaminan konstitusional ini bukanlah tanpa batas. Pasal 28J UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Pasal 156a KUHP “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersifat agama. “Jelas menjadi tolak ukur penegakan hukum menindak kasus ini yang unsur-unsurnya meliputi: pertama, unsur kesengajaan (opzet) yang menunjukkan bahwa pelaku memiliki kehendak dan kesadaran untuk melakukan perbuatan penodaan agama. Kedua, unsur “di muka umum” yang mengindikasikan bahwa perbuatan tersebut dapat diketahui atau diakses oleh khalayak ramai. Ketiga, unsur “permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama” yang merupakan inti dari perbuatan yang dilarang.

Baca Juga: Oktober! 38 Kades di Halut Akan Dilantik Ulang, Satu Tolak Lanjutkan Jabatan

Dalam kasus Hendra Labada, ketiga unsur ini terpenuhi secara kumulatif. Unggahan Facebook dengan konten yang menghina agama Islam menunjukkan adanya kesengajaan, dilakukan di platform media sosial yang bersifat publik, dan substansi  unggahan jelas-jelas mengandung penodaan terhadap agama Islam.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dimensi baru dalam penegakan hukum penistaan agama, khususnya melalui Pasal 28 ayat (2). Bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi  yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Ancaman pidana pasal ini lebih berat dibandingkan Pasal 156a KUHP, yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. penggunaan platform Facebook sebagai medium penyebaran konten penistaan agama menunjukkan relevansi UU ITE dalam penanganan kasus ini.

Baca Juga: Wali Kota Tidore Buka Latsar CPNS Golongan III: Tegaskan Integritas, Profesionalisme, dan Anti-Narkoba

Kasus dugaan penistaan agama di Halmahera Utara melibatkan Hendra Labada, seorang anggota Polres Halmahera Utara, yang mengunggah konten di Facebook berupa tulisan “agama lawak dunia dengan emoji LOL” disertai gambar ustadz dan manipulasi ayat Al-Qur’an Surah Al-Hijr ayat 6. Unggahan ini kemudian dilaporkan oleh MUI Kabupaten Halmahera Utara kepada pihak kepolisian.

Dari aspek fakta hukum, kasus ini memenuhi unsur-unsur penistaan agama baik dalam KUHP maupun UU ITE. Unsur kesengajaan terpenuhi karena unggahan dibuat secara sadar dengan konten yang jelas-jelas menghina agama Islam. Unsur “di muka umum” terpenuhi karena Facebook merupakan platform media sosial yang dapat diakses publik. Unsur penodaan agama terpenuhi melalui penggunaan frasa yang merendahkan agama Islam dan manipulasi ayat suci Al- Qur’an.

Keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam kasus penistaan agama menambah kompleksitas persoalan karena tidak hanya menyangkut hukum pidana umum, tetapi juga etika profesi dan integritas institusi kepolisian. Polri sebagai institusi penegak hukum memiliki kode etik yang sangat ketat terkait dengan perilaku anggotanya, baik dalam tugas maupun di luar tugas.

Baca Juga: Pustaka Insani Institute Gairahkan Literasi di Haltim: Dialog, Ngobrol Buku, dan Kampanye Digitalisasi

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menegaskan bahwa anggota Polri harus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, menjaga kehormatan dan martabat Polri, serta tidak melakukan perbuatan yang dapat merusak citra institusi. Dalam konteks ini, tindakan Hendra Labada jelas melanggar kode etik profesi, terlepas dari aspek hukum pidananya.

Respons Kapolres Halmahera Utara, AKBP Erlichson Pasaribu, yang menyatakan bahwa oknum tersebut akan dikenakan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) menunjukkan komitmen institusi untuk menjaga integritas. PTDH merupakan sanksi terberat dalam sistem kepegawaian Polri dan menunjukkan bahwa pelanggaran etika profesi yang berhubungan dengan SARA tidak ditoleransi.

Respons MUI Kabupaten Halmahera Utara yang melaporkan kasus ini secara resmi melalui jalur hukum yang sah patut diapresiasi. Tindakan ini menunjukkan kedewasaan dalam menyikapi pelanggaran dengan menempuh jalur hukum formal dibandingkan dengan respons emosional yang berpotensi memicu konflik horizontal.

Baca Juga: SK Kepala Desa “Dihidupkan Kembali”: Bupati Halsel di Bawah Sorotan Hukum

Imbauan Kapolres kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak mudah terpancing oleh isu-isu yang belum jelas kebenarannya menunjukkan pendekatan yang bijaksana. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip penanganan konflik berbasis SARA yang mengutamakan pencegahan eskalasi dan pemulihan hubungan sosial.

Respons yang terukur dari berbagai pihak dalam kasus ini menunjukkan adanya pembelajaran dari kasus-kasus serupa di masa lalu. Masyarakat dan tokoh agama semakin memahami pentingnya menempuh jalur hukum formal daripada respons vigilante yang berpotensi menimbulkan konflik lebih luas.

Era digital telah mentransformasi cara terjadinya dan penyebaran penistaan agama secara fundamental. Sebelum era internet, penistaan agama umumnya terjadi dalam konteks yang terbatas, baik dari segi jangkauan maupun kecepatan penyebaran. Media sosial telah mengubah dinamika ini secara drastis, memungkinkan konten yang berpotensi menistakan agama menyebar dengan cepat dan mencapai audiens yang sangat luas dalam waktu singkat.

Baca Juga: BPIP & Pemda Malut Uji Coba Pelembagaan Pancasila, Ini Dampaknya untuk Masyarakat

Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok telah menjadi ruang publik baru yang memungkinkan setiap individu menjadi “broadcaster” dengan jangkauan yang berpotensi global. Dalam konteks ini, setiap unggahan memiliki potensi untuk menjadi viral dan menimbulkan dampak sosial yang signifikan, termasuk dalam hal isu-isu sensitif seperti agama.

Kasus Hendra Labada menggambarkan dengan jelas bagaimana media sosial dapat menjadi katalisator konflik keagamaan. Unggahan yang mungkin dimaksudkan sebagai “humor” atau ekspresi personal dapat dengan cepat berubah menjadi isu publik yang memicu ketegangan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang tanggung jawab digital menjadi semakin penting dalam era media sosial.

Fenomena echo chamber dalam media sosial memperparah potensi konflik akibat penistaan agama. Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan pandangan pengguna, menciptakan “ruang gema” di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan mereka. Dalam konteks isu agama, hal ini dapat memperdalam polarisasi dan mengurangi toleransi terhadap pandangan yang berbeda.

Baca Juga: Komisi IV DPR RI Soroti Deforestasi Maluku Utara, Titiek Soeharto Tegaskan Tambang Wajib Taat Aturan

Platform media sosial menghadapi tantangan besar dalam moderasi konten yang berkaitan dengan isu agama. Di satu sisi, mereka harus menghormati kebebasan berekspresi pengguna; di sisi lain, mereka juga harus mencegah penyebaran konten yang berpotensi menimbulkan konflik atau kekerasan. Dari aspek penegakan hukum, media sosial menghadirkan tantangan teknis dan yuridis yang kompleks. Konten dapat dengan mudah dihapus, dimodifikasi, atau disebarluaskan sebelum aparat dapat mengambil tindakan. Hal ini memerlukan respons yang cepat dan koordinasi yang baik antara pihak berwenang dengan platform media sosial. Persoalan penistaan agama di era digitalperlu penguatan literasi digital dan kesadaran hukum masyarakat. Literasi digital harus mencakup pemahaman tentang dampak sosial dari aktivitas online, tanggung jawab pengguna media sosial, dan konsekuensi hukum dari unggahan yang berpotensi melanggar norma hukum dan sosial.

Dialog antarumat beragama yang konstruktif dan berkelanjutan merupakan fondasi penting untuk mencegah konflik berbasis agama. Dialog ini harus difasilitasi oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, tokoh agama, hingga organisasi masyarakat sipil. Tujuannya bukan untuk menyamakan semua agama, tetapi untuk membangun pemahaman mutual dan toleransi terhadap perbedaan.

Baca Juga: BAZNAS Halut Bangun Rumah Layak Huni untuk Janda Penerima Zakat

Kasus Hendra Labada menunjukkan pentingnya penguatan mekanisme internal dalam institusi- institusi publik, khususnya institusi penegak hukum. Mekanisme ini harus mencakup seleksi yang ketat, pendidikan karakter yang berkelanjutan, dan sistem pengawasan yang efektif.

Program pendidikan untuk anggota kepolisian harus mencakup materi tentang toleransi beragama, multikulturalisme, dan tanggung jawab digital. Program ini harus dirancang secara sistematis dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Selain itu, perlu ada mekanisme early warning system yang dapat mendeteksi potensi pelanggaran etika sebelum menjadi masalah publik.

Sistem reward dan punishment juga perlu diperkuat untuk memastikan bahwa pelanggaran etika mendapat sanksi yang tegas, sementara prestasi dalam menjaga toleransi dan kerukunan mendapat apresiasi yang layak. Hal ini akan menciptakan insentif positif bagi anggota untuk menjaga perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai profesi dan kode etik.

Baca Juga: Pemprov Tekankan Transparansi dan Akuntabilitas, Berikut Ormas di Malut yang Terima Dana Hibah

Kasus penistaan agama di Halmahera Utara memberikan beberapa pembelajaran penting. Pertama, media sosial telah mengubah lanskap penistaan agama secara fundamental, memungkinkan penyebaran yang cepat dan jangkauan yang luas. Hal ini menuntut adaptasi dari berbagai pihak, respons yang terukur dan menempuh jalur hukum formal menunjukkan kedewasaan masyarakat dalam menghadapi isu sensitif. Tindakan MUI yang melaporkan kasus secara resmi dan respons Kapolres yang tegas namun tidak provokatif menunjukkan bahwa mereka memiliki mekanisme yang cukup matang untuk mengelola konflik berbasis SARA.

Editor: AbangKhaM

Silahkan Berbagi: