Opini

Gelombang Aksi: Ketika Kepercayaan Publik Runtuh di Tangan Elit Politik

Merespons Gelombang Aksi
(Ketika Rakyat dan Mahasiswa Kehilangan Kepercayaan)
Oleh: Syahrir Ibnu (Sosiolog Unkhair)

Gelombang demonstrasi yang kini merebak di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Makassar, hingga Ternate, mencerminkan gejala sosial politik yang lebih mendasar. Fenomena ini tidak bisa dibaca hanya sebagai ledakan emosional atau aksi spontan masyarakat, melainkan sebagai manifestasi dari akumulasi ketidakpuasan dan kontradiksi sosial yang telah terpendam lama.

Dari perspektif sosiologis, demonstrasi ini merupakan ekspresi kolektif atas ketidakadilan struktural, melemahnya kepercayaan terhadap institusi formal, serta semakin lebarnya kesenjangan antara harapan masyarakat dengan realitas sosial ekonomi yang mereka alami.

Baca Juga: Indonesia Pasca 17+8: Tuntutan Rakyat, Krisis Legitimasi, dan Jalan Rekonsiliasi

Menariknya, gerakan ini bukan hanya lahir dari keresahan rakyat biasa, tetapi juga digerakkan secara aktif oleh mahasiswa melalui berbagai lembaga kemahasiswaan. Mahasiswa sekali lagi tampil sebagai motor moral bangsa, menegaskan bahwa problem yang dihadapi bukan persoalan sektoral, melainkan kegagalan struktural negara dalam menjaga kontrak sosial dengan masyarakat.

Saya melihat bahwa situasi ini bukan semata gejala politik, melainkan krisis sosial yang lebih mendasar, runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap institusi negara yang seharusnya melindungi kepentingan bersama. Jika kita menengok pada teori social contract Rousseau hingga gagasan Jurgen Habermas tentang ruang publik, legitimasi kekuasaan hanya sah jika negara mampu mewakili aspirasi rakyat secara adil dan transparan. Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan sebaliknya. Elit politik sibuk melanggengkan privilese ketimbang memperjuangkan kesejahteraan publik. Ketika moralitas hilang dari politik, ruang publik pun dipenuhi resistensi, baik dalam bentuk protes damai maupun aksi destruktif.

Baca Juga: “Pendidikan Sebagai Strategi Kebudayaan”: Ditulis Rektor UMMU, Begini Komentar Rektor Unkhair!

Aksi demonstrasi yang bahkan berujung pada pembakaran gedung DPR dan DPRD adalah simbol manifestasi paling nyata dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik formal. DPR kehilangan kredibilitas, eksekutif dipersepsikan semakin elitis, yudikatif diragukan independensinya, sementara partai politik lebih menyerupai oligarki ketimbang kanal demokrasi. Inilah yang saya sebut sebagai krisis representasi. Gerakan sosial, termasuk yang digalang mahasiswa, tidak lagi sebatas menuntut isu kebijakan tertentu, melainkan telah berkembang menjadi structural discontent movement, yakni gerakan yang mempertanyakan keseluruhan struktur kekuasaan.

Jika tidak diantisipasi dengan bijak, situasi ini dapat menyeret Indonesia ke dalam spiral delegitimasi politik yang panjang, menggerus stabilitas demokrasi dan bahkan membuka jalan bagi polarisasi maupun konflik horizontal.
Namun, krisis bukan hanya tentang keruntuhan, sebab di dalamnya juga tersimpan peluang. Gelombang perlawanan rakyat dan mahasiswa memperlihatkan tumbuhnya solidaritas sosial di tingkat akar rumput. Energi moral ini bisa menjadi modal sosial yang sangat berharga untuk mengoreksi arah bangsa, asalkan dikelola dengan visi transformatif. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah elit politik bersedia membuka ruang dialog sejati, atau justru terus terjebak dalam politik eksklusif yang menjauhkan mereka dari rakyat?

Baca Juga: Festival Rameang 2025 Meriah, BI Malut & PKK Tidore Kampanyekan Cinta Rupiah

Dalam menghadapi krisis ini, ada beberapa langkah penting yang mendesak untuk ditempuh.
Pertama, pemerintah harus membangun kembali kepercayaan publik, bukan dengan retorika, melainkan melalui transparansi, akuntabilitas dan keberpihakan nyata kepada rakyat.
Kedua, partisipasi politik harus dipahami secara substantif, dengan membuka ruang deliberatif dari desa hingga pusat.
Ketiga, DPR dan partai politik harus dibebaskan dari cengkeraman oligarki, membuka rekrutmen meritokrasi yang inklusif terhadap generasi muda, perempuan dan kelompok masyarakat sipil.
Keempat, ketidakadilan ekonomi yang menjadi akar keresahan rakyat harus diatasi melalui kebijakan redistribusi yang memperkuat jaring pengaman sosial, memperluas akses pendidikan dan kesehatan, serta melindungi pekerja dan kelompok rentan.
Kelima, reposisi gerakan sosial, didalamnya termasuk gerakan mahasiswa, perlu dilakukan dengan mengakui mereka sebagai mitra kritis, bukan sebagai ancaman.

Baca Juga: Coklit Terbatas: Strategi KPU Haltim Jaga Kualitas Data Pemilih 2025

Apa yang kita saksikan hari ini adalah potret rapuhnya demokrasi Indonesia. Namun rapuh tidak sama dengan runtuh. Jika para pemimpin berani menempuh jalan transformatif, berpihak pada keadilan, membuka ruang partisipasi publik dan menegakkan akuntabilitas, bangsa ini bisa melampaui krisis menuju demokrasi yang lebih matang.

Demonstrasi rakyat dan mahasiswa adalah alarm sosial. Jika alarm ini terus diabaikan, gelombang berikutnya akan lebih keras dan lebih sulit dikendalikan. Tetapi jika didengar, dipahami dan dijadikan pijakan untuk perubahan, justru di situlah adanya peluang membangun Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan bermartabat.

Editor: AbangKhaM

Silahkan Berbagi: