Taman Bacaan Masyarakat dan Gerakan Sosial Baru di Indonesia
Oleh: Helmi Hi.Yusuf
Sekretasi PD FTBM Provinsi Maluku Utara
Satu dari empat tujuan Indonesia merdeka adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjadi dasar hukum bagi negara dalam memberikan layanan pendidikan di Indonesia, terutama akses pendidikan yang sama kepada semua warga negara tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang mereka. Agar layanan pendidikan Indonesia berkualitas, negara lalu membuat berbagai instrumen pendukung dengan memasukan budaya membaca dan ketersediaan buku bacaan bagi lembaga pendidikan dan masyarakat.
Negara tampak serius dengan membuat beberapa aturan. Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tetang Perpustakaan dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang sistem pebukuaan (UU Sisbuk) menjadi kebijakan negara dalam membuka akses bahan bacaan kepada masyarakat. Dalam UU Perpustakaan mengamanatkan pemenuhan hak atas akses ke buku-buku. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 5 bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk menggunakan perpustakaan dan fasilitasnya. Demikian halnya dalam UU Sisbuk yang mengatur mengenai hak-hak masyarakat dalam hal perbukuan. Pasal 8 UU Sisbuk memberikan hak kepada masyarakat umum untuk memiliki akses mudah terhadap buku berkualitas. Lebih rinci lagi, Pasal 10 UU Sisbuk menetapkan bahwa masyarakat di daerah terdepan, terluar, tertinggal, komunitas atapun yang mengalami bencana berhak mendapatkan layanan akses buku.
Apakah kebijakan ini berjalan dan dirasakan oleh masyarakat ?. Untuk menjawabnya perlu membuka arena diskusi yang luas. Namun, pada kenyataannya sebagai pengiat literasi, tentu penulis memiliki pandangan sesuai kondisi di masyarakat. Terjadi kesenjangan distribusi bahan bacaan antar wilayah perkotaan dan pendesaan. Banyak buku-buku yang ada di fasilitas negara seperti perpustakaan derah hanya beredar di wilayah ibu kota provinsi, kabupaten/kota. Walaupun terdapat berbagai upaya untuk mendekatkan akses, namun belum maksimal. Dikarenakan faktor luas wilayah dan kondisi geografis serta minimnya fasilitas layanan ke pelosok.
Sebagaimana hasil kajian dari Purwanda & Syahril (2021) bahwa dalam pengembangan budaya literasi, negara bertanggung jawab memenuhi hak-hak warga negaranya, terutama dalam memperoleh layanan akses buku bacaan. Namun, dalam kenyataannya pemerataan buku belum terealisasi secara utuh. Buku hanya berkutat di kota-kota besar, ditandai dengan hadirnya berbagai perpustakaan, baik yang berbayar maupun yang model pinjam-meminjam, dan hal ini belum berlangsung secara merata ke daerah pulau-pulau kecil terluar. Padahal UU Sisbuk telah mengatur sedemikian rupa agar terwujud sistem perbukuan secara adil dan merata. Bahkan, pemerintah pusat dan daerah menjamin tersedianya buku bermutu, murah, dan merata tanpa diskriminasi.
Dalam kesenjangan pemenuhan layanan perbukuan ini kemudian lahirlah sebuah kelompok yang terasosiasi dalam pemberdayaan literasi. Kelompok taman baca, pojok baca, dan taman bacaan masyarakat dan sebagainya merupakan aktor-aktor gerakan literasi yang bergerak di Indonesia. Dengan satu visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Para komunitas di atas bergabung dalam satu wadah yang disebut Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM). Forum ini merupakan perkumpulan para pegiat literasi yang terhimpun dari berbagai daerah. Data Pengurus Pusat FTBM di tahun 2023 bahwa jumlah TBM dan komunitas literasi yang telah terdaftar sebanyak 2.388. Kelompok ini tumbuh dan berkembang begitu cepat melalui ragam kegiatannya.
Dalam konteks masyarakat madani, TBM merupakan kelompok yang fokus pada kegiatan-kegiatan inklusi di bidang pendidikan, sosial, lingkungan, dan ekonomi untuk kemajuan masyarakat. Meminjam pandangan Tilaar (2002) dan Raharjo (2004) tentang masyarakat madani, maka TBM adalah kelompok yang mengedepankan nilai demokratis, mendorong emansipasi, dan menjamin hak asasi bagi semua dalam mengakses berbagai bahan bacaan kepada masyarakat.
TBM melaksanakan gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap bahan bacaan bagi semua anggota masyarakat, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Gerakan ini juga berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan literasi dan pengetahuan, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan mengedepankan nilai-nilai demokratis, TBM berupaya menciptakan lingkungan yang inklusif dan partisipatif, di mana semua anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses dan menggunakan bahan bacaan. Selain itu, forum ini juga menggalakkan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menciptakan kebijakan dan program yang mendukung peningkatan literasi dan pendidikan di tingkat lokal dan nasional.
Gerakan literasi yang dijalankan oleh para pengiat yang terkoneksi melalui taman bacaan masyarakat menarik untuk dipotret dalam diskursus perkembangan gerakan sosial baru. Karena dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial. Sebelum jauh mengulas tentang fenomena ini, maka perlu dipahami tentang konsep gerakan sosial dan gerakan sosial baru. Gusfield dan Allen (1980), Cohe (1983), Zurcher dan Snow (dalam Michener dan Delamater,1999) menjelaskan bahwa gerakan sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau sejumlah orang mengenai sebuah isu untuk mencapai tujuan tertentu secara tergorganisir agar mencapai suatu kondisi yang baru.
Sedangkan Giddens (1987) menekankan bahwa gerakan sosial merupakan upaya kolektif atau berbagai pihak yang memiliki kepentingan serupa dalam mencapai tujuan bersama. Purboningsih (2015), memaknai gerakan sosial sebagai aktivitas sosial berupa gerakan atau tindakan sekelompok orang yang bersifat informal atau organisasi yang fokus pada isu-isu sosial dan politik dengan melaksanakan, menolak, atau mengkampanyekan sebuah perubahan sosial.
Dalam perkembangannya, studi tentang gerakan sosial kemudian melahirkan satu model gerakan yang disebut Gerakan Sosial Baru (GSB). Gerakan ini merupakan model lain dari gerakan sosial. Perbedaannya menurut Singh (2010) yakni gerakan sosial baru melepaskan orientasi ideologis sebagaimana sering disandarkan pada pernyataan anti kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan kelas. Begitupun pada pola pengorganisasiannya, gerakan sosial baru tampak enggan melanjutkan model sebelumnya. Gerakan ini hendak memulai dari luar hubungan politik normal, menggunakan taktik yang mengganggu (disruptive), dan memobilisasi opini publik untuk mendapatkan daya tawar politik.
Pandangan lain dikemukakan Prasetya dan Sugandi (2019), bahwa partisipan GSB berasal dari berbagai basis sosial seperti gender, pendidikan, okupasi dan kelas. Mereka tidak terkotakkan pada penggolongan tertentu seperti kaum proletar, petani, dan buruh, seperti aktor-aktor gerakan sosial lama yang biasanya melibatkan kaum marginal dan teralienasi. Para aktor GSB berjuang melintasi sekat-sekat sosial demi kepentingan kemanusiaan. Medan atau area aksi-aksi gerakan sosial baru juga melintasi batas-batas region: dari aras lokal hingga internasional, sehingga mewujud menjadi gerakan transnasional.
Dari defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial baru adalah upaya kolektif yang dilakukan oleh sekelompok individu untuk mencapai perubahan sosial atau mengatasi masalah-masalah tertentu dalam masyarakat dengan menggunakan berbagai model strategi dan jaringan mobilisasi. Dalam hal ini, gerakan kelompok literasi yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat literasi di masyarakat, sehingga dapat membawa perubahan positif dalam kehidupan sosial. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti kampanye, pelatihan, dan penyediaan sumber daya literasi untuk mencapai tujuan kelompok. Dengan meningkatnya tingkat literasi, masyarakat dapat memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi dan pengetahuan. Pada gilirannya dapat membantu mereka mengatasi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan pendidikan, dan kurangnya kesadaran akan isu-isu penting di lingkungannya. Sehingga gerakan literasi memiliki potensi untuk menciptakan perubahan sosial yang signifikan dalam masyarakat. Dengan demikian gerakan literasi yang dimotori oleh kalangan pengiat literasi dapat dikategorikan sebagai dimensi lain dari gerakan sosial baru masa kini.
Dalam kegiatan Festival Literasi Indonesia (FLI) tahun 2023 yang dirangkaikan dengan kegiatan Gelar Karya Literasi pada tanggal 7-9 September 2023 di Semarang, penulis menemukan berbagai gambaran tentang gerakan literasi yang ditampilkan dalam acara tersebut. Para pengiat mewakili komunitasnya menyampaikan beberapa praktik gerakan literasi dengan berbagai isu dan pendekatan.
Dari sekian contoh gerakan literasi yang ditampilkan, ada dua contoh yang penulis kemukakan untuk menjelaskan taman bacaan dan gerakan sosial baru di Indonesia. Pertama, gerakan literasi dengan mengangkat isu “Pendampingan Literasi untuk Anak dan Remaja”. Pada tataran pelaksanaan, isu ini telah dilakukan oleh pengiat literasi di Taman Bacaan Kedai Buku Jenny di Makassar; Fitrah Berkah Insani di Pontianak, dan Pinjam Pustaka di Sorong, Papua Barat Daya.
Kedua, ada beberapa taman bacaan masyarakat yang mengangkat isu lingkungan dalam gerakan mereka. Dengan mengusung topik “Menjaga Lingkungan dengan Literasi Sains”, taman bacaan masyarakat Kalimantan Tengah, Taman Ilmu di Pulau Natuna, dan Rumah Asa di Yogyakarta telah mendesiminasikan berbagai hal yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan kepada anggota komunitas dan masyarakat setempat.
Potret gerakan literasi dengan mengusung tema-tema tertentu di atas pada praktiknya melibatkan ragam kalangan, gender, dan kelas sosial di komunitas mereka. Dari segi geografis, gerakan diatas dijalankan pada wilayah yang berbeda di Indonesia. Berbagai elemen ikut dalam kegiatan literasi yang diinisiasi oleh para pengiat di atas. Namun gerakan ini memiliki satu misi untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat setempat tentang isu yang dikampanyekan melalui aktifitas di komunitasnya. Sehingga praktik-praktik seperti ini mampu disebut sebagai gerakan sosial baru diranah pendidikan Indonesia.
Dalam tulisan Locer (2002), terdapat empat tipe gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial reformis yang bertujuan untuk melakukan perbaikan atau reformasi dalam sistem yang sudah ada. Kedua, gerakan sosial radikal yang berusaha mengubah sistem secara drastis dan mendalam. Ketiga, gerakan sosial transformatif yang ingin menciptakan perubahan struktural dalam masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai egaliter dan demokratis. Dan keempat, gerakan sosial kontra-hegemonik yang bertujuan untuk melawan dominasi kelompok atau kekuatan yang berkuasa dalam masyarakat.
Gerakan literasi yang dilaksanakan para pengiat melalui wadah taman bacaan masyarakat juga dapat dikategorikan dalam gerakan sosial transformatif yang ingin menciptakan perubahan struktural dalam masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai egaliter dan demokratis. Berbagai kegiatan literasi di setiap komunitas telah mencerminkan upaya para pengiat untuk memberikan kontribusi perbaikan dan pembenahan terhadap kerasahan yang mereka alami. Keresahan tentang rendahanya minat baca, kurangnya bahan bacaan, hingga memberikan pelatihan kepada anggota komunitas dan warga lokal, sehingga dapat golongkan dalamgerakan sosial tranformatif.
Pembentukan suatu gerakan sosial dapat dilihat dari tahapannya. Haris, Rahman, & Ahmad (2019) membagi tahapan pembentukannya yaitu incipient stage (kegelisahan kelompok), organizational stage (menyusun program dan aksi organisasi), dan institutional stage (pelembagaan organisasi). Dalam konteks gerakan literasi yang dirintis oleh forum taman bacaan masyarakat maka dapat diuraikan bahwa gerakan ini melalui tiga tahapan pembentukan sebuah gerakan sosial. Pada fase incipient stage, setiap komunitas literasi yang terbentuk lahir dari sebuah keresahan dan perhatian terhadap kondisi lingkungan masing-masing. Sehingga mendorong para pengiat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan literasi secara personal maupun berkelompok di wilayahnya. Pada fase organizational stage, hampir seluruh komunitas literasi yang tergabung dalam payung forum taman bacaan masyarakat memiliki program kegiatan yang terstruktur sesuai dengan tujuanya masing-masing. Sedangkan pada fase institutional stage, mereka telah mampu melembagakan komunitasnya secara formal. Walaupun masih ada komunitas literasi yang belum terlembagakan. Inilah yang menjadi tantangan tersendiri dalam gerakan sosial baru terkait komunitas literasi. (*)