Dunia 2025 Bergolak: Perang dan Krisis Legitimasi yang Mengguncang Peradaban
Dunia 2025 Bergolak
Perang, Kerusuhan, dan Demonstrasi yang Mengguncang Tatanan Global
Oleh: Syahrir Ibnu ( Sosiolog Unkhair)
Gelombang pergolakan sedang menyapu dunia. Dari medan perang yang tak kunjung padam, kerusuhan yang meletup di jalan-jalan kota besar, hingga demonstrasi yang merambat lintas benua, tahun 2025 menjadi saksi bagaimana keresahan sosial-politik menjelma menjadi bahasa global. Semua ini bukan sekadar rangkaian peristiwa acak, melainkan mozaik dari krisis besar, dari ketidakadilan ekonomi, perebutan sumber daya, politik identitas, dan kekuasaan yang kehilangan pijakan. Apakah ini sekadar badai sesaat, atau tanda bahwa peradaban tengah kehilangan keseimbangan? (Castells, 2021).
Tak banyak yang menyangka, sembilan bulan terakhir di tahun ini justru dihiasi perang, demonstrasi, dan kerusuhan dalam skala global. Dari Timur Tengah hingga Asia Selatan, dari Asia Tenggara hingga Eropa, berita utama nyaris seragam, dari ledakan, teriakan massa, dan simbol-simbol negara yang porak-poranda. Iran dan Israel kembali saling serang. India dan Pakistan menyalakan bara di perbatasan. Thailand dan Kamboja terseret konflik berkepanjangan. Malaysia berguncang oleh demonstrasi yang menuntut Perdana Menteri turun. Indonesia berduka dengan demonstrasi besar merenggut nyawa, rumah pejabat dijarah. Nepal lebih getir lagi, parlemen dibakar, rumah pejabat diserang, bahkan istri Perdana Menteri ikut jadi korban. Dunia, singkatnya, sedang mengalami demam tinggi.
Baca Juga: Benarkah Presiden Kirim Surpres Pergantian Kapolri? Ini Jawaban Istana dan DPR
Konflik antarnegara seperti Iran–Israel, India–Pakistan, atau Thailand–Kamboja tidak lahir dari ruang hampa. Ia digerakkan oleh logika geopolitik klasik, perebutan wilayah, obsesi keamanan, dan persaingan ideologi. John Mearsheimer (2019) mengingatkan, sistem internasional adalah anarki, tak ada wasit tertinggi yang bisa menghentikan negara ketika merasa terancam. Maka tak heran, persaingan di Kashmir atau rivalitas Timur Tengah bisa meledak kapan saja menjadi perang terbuka. Bukankah ini bukti bahwa dunia masih terjebak dalam logika abad lalu, meski kita sudah hidup di era teknologi supercanggih?
Sebaliknya, gelombang demonstrasi di Indonesia, Malaysia, Nepal, hingga Prancis memiliki wajah berbeda, bentuk perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan struktural. World Inequality Report (2022) menunjukkan jurang kaya–miskin kian menganga; 10% orang terkaya menguasai 76% kekayaan dunia. Kesenjangan ini adalah bahan bakar amarah. Charles Tilly (2004) sudah lama mengingatkan, ketika kanal formal buntu, rakyat akan mencari jalan lain untuk bersuara. Dan kini, media sosial menjadi pengeras suara paling efektif, dimana keluhan pribadi menjelma pekik kolektif (Gerbaudo, 2022). Itulah sebabnya demonstrasi bisa cepat meluas lintas batas, bahkan saling menginspirasi. Jalanan pun kini menjadi “parlemen baru,” tempat rakyat menuntut keadilan ketika ruang politik resmi terkunci.
Baca Juga: Mbappé & Arda Güler Bawa Real Madrid Taklukkan Real Sociedad 2–1, Meski Bermain dengan 10 Pemain
Max Weber (1978) pernah berkata, kekuasaan hanya bertahan selama dianggap sah. Begitu legitimasi runtuh, rakyat akan meruntuhkan simbol-simbolnya. Bukankah kita melihat itu? Rumah pejabat yang dibakar di Indonesia, gedung parlemen yang dihancurkan massa di Nepal, semua itu adalah tanda krisis legitimasi yang dalam. Ini bukan sekadar protes kebijakan, melainkan penolakan terhadap otoritas itu sendiri. Steven Tarrow (2021) juga menegaskan: krisis legitimasi adalah bahan peledak utama protes massal, terutama di negara dengan institusi rapuh.
Namun fenomena ini bukan hanya persoalan lokal. Saskia Sassen (2014) menulis tentang “pengusiran massal”, petani yang kehilangan tanah, pekerja yang kehilangan stabilitas, negara kecil yang kehilangan kendali atas ekonominya. Luka global ini terhubung. Demonstrasi di Jakarta bergema dengan kerusuhan di Nepal. Amarah di Malaysia menemukan saudaranya di jalanan Paris. Dunia seperti bergerak dalam satu irama kegelisahan, ditengah getir, penuh amarah, tapi juga penuh tuntutan akan perubahan.
Baca Juga: Aklamasi! Ardiansyah Fauji Jadi Ketua Askot PSSI Tidore, Janjikan Kebangkitan Persikota
Maka, jelaslah bahwa gejolak 2025 punya dua wajah. Pertama, perang antarnegara yang dipicu perebutan geopolitik dan logika keamanan. Kedua, kerusuhan domestik yang lahir dari ketimpangan sosial dan runtuhnya legitimasi. Dua wajah ini berbeda, tapi sama-sama menyingkap rapuhnya tatanan global. Pertanyaannya, berapa lama dunia bisa bertahan dalam kondisi ini tanpa pecah menjadi krisis yang lebih besar?
Bagi Indonesia, pelajaran itu begitu gamblang. Stabilitas tidak bisa dijaga semata oleh aparat bersenjata. Tanpa keadilan sosial, transparansi, dan ruang dialog, rakyat akan selalu menemukan jalannya sendiri (Hiariej, 2020). Indonesia juga tidak boleh puas menjadi penonton. ASEAN sedang diuji oleh konflik Thailand–Kamboja dan ketegangan Laut Cina Selatan. Indonesia harus berani tampil sebagai penengah, bukan sekadar penonton pasif.
Baca Juga:
Dunia saat ini memang ibarat tubuh yang sakit keras. Perang antarnegara memperlihatkan rapuhnya sistem internasional. Kerusuhan domestik menelanjangi rapuhnya legitimasi negara. Demam global ini bukan hanya gejala, ia adalah peringatan (alarm sosial). Pertanyaannya, apakah kita sanggup menemukan obatnya, atau justru akan membiarkan dunia tenggelam dalam krisis yang lebih dalam?
Editor: AbangKhaM
