Advokat Tegas: Pelantikan Ulang Kades di Halsel oleh Bupati Bassam Langgar Hukum
Ternate – Polemik pelantikan empat Kepala Desa di Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) menuai sorotan. Advokat sekaligus Legal Consultant, Hendra Kasim, menilai langkah Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, yang kembali melantik empat kepala desa pasca putusan PTUN Ambon, tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut Hendra, akar masalah berawal dari Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di empat desa, yakni Gandasuli, Goro-Goro, Loleo Ngusu, dan Kuo. Hasil Pilkades tersebut digugat ke PTUN Ambon dan dimenangkan oleh penggugat. PTUN pun membatalkan keputusan Bupati mengenai pengangkatan kepala desa, sekaligus memerintahkan pencabutan SK tersebut.
Baca Juga: Komisi IV DPR RI Soroti Deforestasi Maluku Utara, Titiek Soeharto Tegaskan Tambang Wajib Taat Aturan
“Langkah Bupati saat itu tepat, karena membatalkan SK sebagaimana perintah pengadilan. Tetapi persoalan muncul ketika Bupati kembali melantik empat orang yang sudah dibatalkan oleh PTUN. Itu jelas menyalahi hukum,” tegas Hendra dalam rilis yang diterima media ini, Selasa (23/9/2025).
Diskresi Bukan Alasan
Hendra menjelaskan, alasan diskresi yang dipakai Bupati tidak dapat dibenarkan. Diskresi, kata dia, hanya dapat digunakan dalam kondisi tertentu, misalnya adanya kekosongan hukum, ketidakjelasan norma, atau keadaan luar biasa (force majeure).
“Dalam kasus Halsel, tidak ada kekosongan hukum. UU Desa jelas mengatur mekanisme ketika kepala desa diberhentikan. Jadi, tidak ada alasan untuk menggunakan diskresi,” ujarnya.
Baca Juga: BPIP & Pemda Malut Uji Coba Pelembagaan Pancasila, Ini Dampaknya untuk Masyarakat
Ia mengutip Pasal 46 dan 47 UU Desa, yang memberikan solusi normatif ketika terjadi kekosongan jabatan kepala desa. Jika sisa masa jabatan kurang dari satu tahun, Bupati bisa menunjuk PNS sebagai penjabat kepala desa. Namun, jika lebih dari satu tahun, PNS yang ditunjuk wajib menyelenggarakan pemilihan kepala desa antar waktu.
“Ini artinya, undang-undang sudah menyediakan emergency exit. Bupati harus tunduk pada aturan, bukan menciptakan tafsir sendiri dengan diskresi. Kalau tetap memaksakan, itu sama saja mencampuradukkan kewenangan dan melanggar asas umum pemerintahan yang baik,” jelasnya.
Baca Juga: BAZNAS Halut Bangun Rumah Layak Huni untuk Janda Penerima Zakat
Solusi Administratif
Sebagai jalan keluar atas polemik ini, Hendra menawarkan dua opsi. Pertama, Bupati dapat mencabut atau membatalkan SK pelantikan yang sudah dikeluarkan. Hal ini sesuai asas contrarius actus, di mana pejabat yang mengeluarkan keputusan TUN juga berwenang untuk mencabutnya.
“Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki keadaan. Justru memperbaiki kesalahan administrasi adalah bentuk birokrasi yang sehat,” katanya.
Kedua, pihak yang dirugikan dapat menempuh upaya hukum dengan menggugat kembali ke PTUN.
“Polemik administrasi pemerintahan tidak boleh dianggap sepele. Keteraturan birokrasi adalah cermin negara yang beradab. Pemerintahan yang baik harus bersih, transparan, dan tunduk pada aturan hukum,” pungkas Hendra. (Red)
Editor: AbangKhaM
