Yayasan Makulila Tegas: Masyarakat Lingkar Tambang Masih Terpinggirkan di Tengah Derasnya Investasi!
Ternate – Yayasan Makulila Maluku Utara menegaskan bahwa pelayanan publik bagi masyarakat lingkar tambang masih terpinggirkan, meski arus investasi pertambangan terus meningkat di wilayah tersebut.
Hal ini disampaikan dalam Dialog Publik bertema “Peningkatan Pelayanan Publik yang Inklusif dan Akuntabel di Masyarakat Lingkar Tambang”, yang digelar di Room 1 Waterboom Ternate, Rabu (5/11/2025).
Kegiatan tersebut menghadirkan berbagai pihak, termasuk perwakilan Ombudsman Republik Indonesia, akademisi, jurnalis, dan aktivis masyarakat sipil. Forum ini menjadi wadah refleksi dan evaluasi terhadap tata kelola pelayanan publik di kawasan tambang yang dinilai belum berpihak pada masyarakat lokal.
Baca Juga: Baznas Halut Bangun Rumah Layak Huni, Wabup Kasman: Bukti Nyata Kepedulian untuk Rakyat!
Sekretaris Yayasan Makulila, Muhammad Wildan, menyoroti bahwa banyak warga di sekitar wilayah tambang masih kesulitan mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, padahal daerah mereka menjadi penyumbang besar pertumbuhan ekonomi Maluku Utara.
“Selama ini, masyarakat lingkar tambang hanya menjadi penonton dari aktivitas ekonomi besar di wilayah mereka sendiri. Pemerintah harus hadir untuk memastikan pelayanan publik berjalan adil dan merata,” ujar Whildan.
Ia menegaskan, Yayasan Makulila mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola pelayanan publik di wilayah pertambangan, sekaligus memperkuat transparansi dan akuntabilitas perusahaan tambang dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya.
Baca Juga: Ombudsman RI Gandeng 7 Kampus di Maluku Utara, Mahasiswa Dilibatkan Awasi Pelayanan Publik!
“Investasi tambang tidak boleh berjalan di atas penderitaan rakyat. Ketika pelayanan publik tidak adil, maka pembangunan kehilangan maknanya,” tegasnya.
Dalam forum yang sama, perwakilan Ombudsman RI, Saputra Malik, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima banyak laporan masyarakat dan lembaga sipil terkait pelanggaran izin usaha pertambangan (IUP/IUPK) di Maluku Utara.
“Banyak perusahaan tidak memenuhi kewajiban izin usaha pertambangan. Bahkan ada yang dikelola secara tertutup oleh jaringan keluarga sendiri,” ungkap Saputra.
Ia juga menyoroti paradoks ekonomi Maluku Utara, di mana data BPS mencatat pertumbuhan ekonomi mencapai 30 persen, namun tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lingkar tambang.
“Pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi masih banyak warga kesulitan mencari pekerjaan dan pelayanan publik tidak memadai. Ini ketimpangan yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Dialog publik yang dipandu oleh Ghalim Umabaihi ini menyoroti tiga isu besar yang dihadapi masyarakat lingkar tambang:
- Pencemaran lingkungan,
- Marjinalisasi warga lokal, dan
- Perampasan ruang hidup masyarakat adat.
Para peserta sepakat bahwa peningkatan kualitas pelayanan publik menjadi kunci utama untuk mewujudkan keadilan sosial di daerah penghasil tambang.
Menutup dialog, Muhammad Whildan menegaskan komitmen Yayasan Makulila untuk terus menjadi ruang advokasi dan dialog publik bagi warga lingkar tambang.
“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak ketidakadilan. Pemerintah dan perusahaan harus memastikan masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang layak dan hak mereka terlindungi,” pungkasnya.
Editor: AbangKhaM
