Di Balik Trans Halmahera: Infrastruktur untuk Publik, atau Kepentingan Tambang Gubernur?
Maluku Utara – Pemerintah Provinsi Maluku Utara tengah merancang pembangunan Jalan Trans Halmahera – atau disebut juga Trans Kie Raha – sebagai bagian dari upaya mempercepat konektivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, proyek ambisius ini menuai sorotan karena dinilai sarat kepentingan politik dan industri tambang.
Ruas jalan yang menghubungkan Ekor–Subaim–Kobe di Pulau Halmahera disebut-sebut bakal memperkuat konektivitas antarwilayah. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar trase proyek justru melintasi kawasan industri dan konsesi tambang nikel berskala besar, terutama di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Jalur seperti Ekor–Kobe–Buli bahkan berada sangat dekat dengan lokasi tambang dan smelter milik sejumlah perusahaan nasional maupun asing – termasuk perusahaan yang berafiliasi dengan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yakni PT Karya Wijaya.
Secara geografis, proyek ini lebih menyerupai urat nadi logistik tambang ketimbang jalur mobilitas masyarakat desa.
Baca Juga: Islam Hijau dan Islam Biru: Revolusi Tauhid Menyelamatkan Bumi dari Krisis Ekologis
Dengan demikian, infrastruktur yang seharusnya berfungsi sosial kini tampak berubah menjadi infrastruktur ekonomi yang melayani kepentingan industri nikel. Pemerintah menggunakan narasi “pemerataan pembangunan” untuk membungkus kenyataan bahwa manfaat ekonomi terbesar justru mengalir ke sektor tambang, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Dibangun Dua Arah
Proyek yang memiliki panjang puluhan kilometer ini akan dikerjakan secara bertahap melalui kolaborasi antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.
Gubernur Sherly Tjoanda menjelaskan bahwa pengerjaan jalan akan dimulai dari dua arah.
“Provinsi akan mulai dari kilometer 9 hingga 15, sementara Kabupaten Halmahera Tengah membangun dari Kobe ke arah Ekor. Jadi kita akan bertemu di tengah,” ujar Sherly.
Baca Juga: Tarakani Fun Run 2025 Siap Guncang Galela! Ratusan Warga Bakal Ramaikan Puncak Sumpah Pemuda
Ia menambahkan, pembangunan ini diharapkan dapat membuka akses transportasi sekaligus menciptakan simpul-simpul ekonomi baru di sepanjang jalur Trans Halmahera.
Namun, Sherly menegaskan proyek baru dimulai setelah seluruh persoalan lahan diselesaikan.
Pemerintah Provinsi telah menyiapkan anggaran antara Rp20 miliar hingga Rp40 miliar melalui APBD Perubahan 2025, yang akan dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Maluku Utara.
Sorotan WALHI: Sarat Kepentingan Politik
Menanggapi rencana tersebut, Manager Advokasi Tambang WALHI Malut, Mubalik Tomagola, menilai proyek Jalan Trans Halmahera sarat dengan kepentingan politik dan bisnis.
Baca Juga: Ratusan Warga Tumpah Ruah di Galela! ‘Tarakani Fun Run’ Bakar Semangat Sumpah Pemuda 2025
“Gubernur Sherly memperlihatkan watak pembangunan yang eksploitatif, tidak adil, dan cenderung diskriminatif,” ujarnya.
Menurut Mubalik, seharusnya pemerintah daerah menjadikan proyek ini sebagai solusi untuk mempermudah akses masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupan, bukan memperlancar investasi tambang.
“Proyek seperti ini tidak berdampak langsung bagi ekonomi warga. Ini semacam pesanan oligarki tambang,” tegasnya.
“Pembangunan sejati bukan diukur dari seberapa panjang jalan yang dibangun, tapi seberapa banyak warga yang sehat dan anak-anak yang bisa sekolah,” tandas Mubalik.
Baca Juga: Pemuda Bersatu! KNPI Halut Gelar Musda VII, Wabup Kasman: Saatnya Pemuda Jadi Penggerak Perubahan
Akademisi Unkhair: Infrastruktur untuk Tambang, Bukan Rakyat
Pandangan senada disampaikan Astuty Kilwow, akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate. Ia menilai proyek Trans Halmahera hanyalah kelanjutan dari pola lama pembangunan infrastruktur di Maluku Utara yang berpihak pada kepentingan korporasi besar.
Astuty menyinggung sejarah pembangunan jalan lintas di Halmahera sejak era 1990-an yang justru diarahkan melewati kawasan investasi besar, seperti perusahaan kayu Barito dan tambang emas NHM.
“Dari dulu, jalan strategis lebih banyak mendukung kepentingan industri besar, bukan mobilitas warga,” jelasnya.
Baca Juga: Pemkab Haltim Mulai Evaluasi Pejabat Eselon II, Siapa yang Layak Dipertahankan?
Menurutnya, proyek Trans Halmahera kini menjadi bagian dari strategi besar untuk memuluskan rantai pasokan nikel di Pulau Halmahera.
Astuty menyebut fenomena ini sebagai bentuk oligarki nikel yang mulai menembus ranah politik.
“Proyek ini adalah cerminan bagaimana oligarki nikel masuk ke politik demi memastikan kelancaran distribusi dan produksi tambang,” ujarnya tegas.
Baca Juga: BRI Soasio Serahkan Mobil Ambulans untuk Pemda Haltim, Wujud Nyata Kepedulian ke Masyarakat
Kerusakan Lingkungan dan Ekstraktivisme Kebijakan
Astuty menegaskan, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, maka kebijakan pembangunan tak boleh berhenti pada pembangunan jalan semata.
“Kalau memang untuk masyarakat, pemerintah juga harus berani menutup tambang-tambang bermasalah di sekitar kawasan pertanian dan perkebunan warga,” katanya.
Ia menyoroti dampak pertambangan di Halmahera yang telah merusak ekosistem darat maupun laut. Contohnya di Wasile, di mana lahan sawah warga kini tak lagi subur akibat area di sekitarnya dijadikan lokasi tambang nikel.
Baca Juga: Hari Santri 2025: Wagub Sarbin Serukan Santri Melek Digital & Sains!
Menurutnya, arah pembangunan di Maluku Utara menunjukkan pola ekstraktivisme kebijakan, di mana negara justru memfasilitasi industri tambang menggunakan dana publik.
“Infrastruktur publik kini difungsikan untuk kepentingan korporasi. Bahkan di Halmahera Tengah, alat berat perusahaan tambang beroperasi di jalan umum yang seharusnya untuk warga,” tutupnya.
Data MODI ESDM: Jejak Bisnis di Balik Proyek
Data terbaru Minerba One Data Indonesia (MODI) milik Kementerian ESDM memperlihatkan bahwa jalur proyek Trans Halmahera melintasi kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terafiliasi dengan Gubernur Maluku Utara.
Baca Juga: APBD 2026 Malut Fokus ke Rakyat: Pendidikan Gratis & Infrastruktur Jadi Prioritas!
Data di laman resmi MODI ESDM menunjukkan, perusahaan yang berafiliasi dengan Gubernur tidak hanya beroperasi di Pulau Gebe, tetapi juga memperluas aktivitasnya hingga ke wilayah lain Halmahera Tengah. Hal itu diperkuat dengan terbitnya izin operasi pertambangan baru yang tercantum di situs resmi ESDM.
Dalam dokumen resmi ESDM, tercatat nama Komisaris Gregory Dhana N., Komisaris Utama Fina Rusiyanti, Direktur Bharat Kumar Jain, dan Direktur Utama Josef Humato. Mereka resmi menjabat sejak 19 Juli 2025.
Pemegang saham mayoritas perusahaan tersebut tercatat atas nama Sherly Tjoanda.
Penutup
Proyek Jalan Trans Halmahera, yang di atas kertas disebut simbol konektivitas Maluku Utara, kini menjadi medan perdebatan antara narasi pembangunan dan realitas politik-ekonomi tambang.
Pertanyaannya: apakah proyek ini benar-benar untuk rakyat, atau sekadar memperlancar roda oligarki nikel di jantung Pulau Halmahera?
Reporter: Tim Malut Center
Editor: AbangKhaM
